Oleh: Felix Y Siauw
YANG benar memahami syahadat sangat memahami, bahwa hidup mereka itu dari Allah, begitipun mati mereka adalah Allah yang menghendaki, dan pada Allah mereka dikembalikan.
Artinya tak ada kenikmatan yang akan bisa mereka rasakan, kecuali bila Allah mengizinkan, dan tak akan selamat mereka setelah kematian, kecuali bila mati itu Allah ridhai.
Dari situ muncul pemahaman, “Hidup karena Allah, dan mati juga karena Allah”, menjadilah mereka jiwa-jiwa yang tak takut kecuali hanya Allah, Allah jadi pusat hidup mereka.
Dikisahkan dalam Al-Qur’an, ketika musuh memberikan tekanan pada mereka yang beriman, bukannya malah ketakutan, justru Allah menambahkan pada mereka keimanan.
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” – QS 3: 173.
Yang mereka khawatirkan bukan manusia yang berusaha untuk menimpakan keburukan pada mereka, yang mereka takutkan sesungguhnya adalah saat Allah jauh dari mereka.
Sebab mereka hidup saat mengenal Allah, hidup mereka jadi berarti saat di jalan dakwah, jiwa mereka tenang saat bersama Islam, Allah dan Rasul sumber hidup mereka.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul, apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu – QS 8: 24.
Maka dakwah ini adalah jalan kehidupan, bukan jalan untuk mencari penghidupan. Dakwah ini adalah jalan kaum yang beriman untuk mencari cinta Allah dan Rasul-Nya.
Karenanya apapun yang mereka alami berupa ujian, akan membuat mereka bertambah solid, yang mereka hadapi berupa tantangan, akan menambah kekuatan iman mereka.
Sebab inilah jalan yang mereka senantiasa minta pada Allah dalam surah Fatihah, jalan para Nabi, syuhada dan shiddiqin, jalan lurus, jalan dakwah, jalan Islam. []