DALAM Islam, makanan menduduki posisi yang sangat tinggi. Bahkan lebih jauh Allah menjadikan kecukupan pangan sebagai salah satu dari dua sebab utama kenyamanan atau kewajaran dalam ibadah.
Karena Islam menaruh perhatian yang sangat serius terhadap makanan baik dari sisi dzatnya ataupun cara makanan tersebut diperoleh. Makanan dan minuman yang kita makan akan secara langsung mempengaruhi tubuh kita baik secara fisik maupun psikis.
Abu Hurairah Ra meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
“Perut adalah telaga bagi raga. Pembuluh-pembuluh darah berujung padanya. Jika perut sehat, pembuluh-pembuluh itu akan sehat. Sebaliknya, jika perut sakit, pembuluh darah akan sakit,” (HR. Tirmidzi).
Karena itu, Islam hanya membolehkan kita untuk mengonsumsi makanan atau minuman yang halal lagi baik.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkat syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagiu,” (QS. AL-Baqarah ayat 168).
Ayat tersebut menjelaskan dua sifat makanan yang boleh bahkan manusia diperintahkan Allah SWT untuk memakannya, yaitu yang halal dan yang baik (thayyib). Sesuatu yang halal adalah sesuatu yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Adapun makanan yang baik (thayyib) adalah makanan yang sehat dan memiliki gizi yang cukup serta seimbang.
Imam Al Ghazalu mengumpamakan makanan dalam agama seperti fondasi pada bangunan. Jika fondasi itu kokoh dan kuat, bangunan pun akan berdiri tegak dan kokoh. Sebaliknya, jika fondasi itu rapuh dan bengkok, bangunan itupun akan runtuh dan ambruk.
Rasulullah SAW bersabda, “Baguskanlah makananmu, niscaya Allah akan menerima doamu,” (HR. Thabrani). []
Sumber: Islam Tuntunan dan Pedoman Hidup/Tim dosen PAI UPI/Penerbit: Value Press Bandung