Oleh: Herri Mulyono
HerryMulyono@gmail.com
SAYA sering menikmati perjalanan pulang dengan mas Hamzah Puadi Ilyas. Bukan menikmati macetnya jalan ibu kota, tapi diskusi yang mengalir sepanjang bergulirnya roda mobil kami dari Buncit raya menuju Slipi.
Yang saya paling nikmati adalah gosip artis. Rupanya mas Hamzah ini pakar dibidang pergosipan artis. Saya menikmatinya sebagai diskusi naratif yang hangat. Hangat seperti benar-benar membaca sebuah novel. Wajar memang, karena mas Hamzah ini novelis.
Ceritanya tidak semua tentang curhat artis. Ada juga certia-cerita motivasi yang begitu menginspirasi. Cerita tentang teman A yang hebat, sodara B yang menjadi orang terkenal dan lain-lain. Selain juga ada cerita tentang kawan C yang gagal dan menjadi pelajaran bagi saya.
Tapi malam kemarin itu ada hal yang menarik. Ketika kami berbicara dengan gaji yang alakadarnya. Kata kuncinya, seperti pada jurnal ilmiah, adalah “dimampukan”.
Selama ini yang saya pahami adalah kita dapat mencapai sesuatu, karena kita mampu menggapai itu. Misal, kita mampu membeli mobil, karena kita memiliki uang yang memampukan kita untuk membeli mobil. Seorang calon mahasiswa masuk jurusan matematika sebuah universitas bergengsi karena dia memiliki kemampuan tentang matematika.
Lalu orang yang tidak mampu? apakah hanya menunggu takdir? Takdir tidak bisa beli mobil karena tidak punya uang.
Dan, jika ada orang yang tidak punya duit, tapi tetap nekat beli mobil. Akhirnya keteter cicilannya. Dalam perspektif ini, mungkin pandangan kita sama,.. “Gak tau (kapasitas) diri. Sudah tau gaji kecil tapi nekat beli mobil!”
Tapi dalam konteks lain, saya melupakan konteks hadirnya tangan Tuhan. Dalam bahasa sederhananya, dalam obrolan kami malam itu, adalah kata “dimampukan”. Yaitu dimana Tuhan berkehendak menolong orang-orang kecil mencapai mimpi-mimpi besar. Kisah seperti ini banyak sebenarnya. Misal, pedagang buah keliling yang nekat “daftar haji” dengan 500rb rupiah. Entah bagaimana cara Tuhan memampukannya, pedagang kecil itu kini sudah naik haji. Dengan kalkulasi matematika Tuhan yang sulit dipahami.
Mungkin, tangan tuhan ini hadir semata-mata karena ibadah, bahwa mimpi besar kita memang harus dirancang atas dasar nilai ibadah. Untuk naik haji jelas. Tapi contoh lain, misalnya bercita-cita punya rumah milyaran atas nama Tuhan. Well, jenis ibadanya tentunya akan bergantung dari manfaat rumah milyaran itu. Oleh karena itu segera niatkan mimpi-mimpi besar semata-mata karena Allah, agar nilai ibadah darinya menjadi mimpi itu mulia.
“Kita sudah memilih takdir kita disini. Dengan kondisi yang seperti ini. Dengan gaji yang begini,” ujar sahabat saya itu.
Lanjutnya, “untuk hal-hal lain (mimpi-mimpi, keinginan besar lain) dengan kondisi kita ini, biar Tuhan yang “mamampukan”.
Amiin, .. semoga Allah memampukan kita semua. Allahumma aamiin. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word