SEBAGAI seorang muslim, melakukan amalan-amalan baik merupakan perbuatan yang harus dilakukan. Sebab, kita adalah seorang hamba. Dimana, sudah kita ketahui hidup di dunia ini hanya sementara. Akan tiba saatnya kita kembali kepada Sang Pencipta Allah Ta’ala. Untuk itu, melakukan amal agar memperoleh pahala dari sisi-Nya menjadi tujuan utama hidup di dunia.
Hanya saja, kita tidak pernah tahu, apakah amal perbuatan yang kita lakukan itu diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atau kah tidak. Lantas, apakah bisa kita mengetahuinya?
Sebelum itu, perlu kita ketahui bahwa sebuah amal bernilai sah tentu saja ketika amal itu memenuhi semua ketentuannya. Memenuhi syarat, rukun, dan wajibnya, serta tidak ada unsur pembatalnya.
Anda bisa menilai shalat Anda sah, ketika Anda memahami bahwa shalat Anda telah memenuhi syarat, rukun, dan wajib shalat. Serta Anda tidak melakukan pembatal shalat.
Sementara untuk diterimanya amal, tidak ada satupun manusia yang tahu. Karena ini semua kembali kepada Allah, Dzat yang kita sembah. Jangankan manusia biasa, sampaipun para nabi, mereka tidak mengetahui apakah amalnya diterima atau tidak.
Nabi Ibrahim ‘Alaihis shalatu was salam, ketika beliau membangun Ka’bah, beliau tidak tahu apakah amalnya diterima atau tidak. Sehingga beliau selama membangun Ka’bah, banyak membaca do’a, “Ya Rab kami, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (QS. Al-Baqarah: 127).
Wuhaib bin al-Warad ketika membaca ayat ini, beliau mengatakan, “Wahai Ibrahim, Khalilurrahman, Anda membangun dinding Ka’bah, sementara Anda takut amal Anda tidak diterima…” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/427).
Karena itulah, terkait masalah diterimanya amal, manusia hanya bisa berharap. Memohon kepada Allah agar amalnya diterima oleh Allah. Tugas hamba adalah beramal sebaik mungkin, dan memastikan amalnya sah. Apakah amalnya diterima atau tidak, hamba hanya bisa berharap dan tidak bisa memastikan. []
Sumber: konsultasisyariah.com