SEORANG yang sedang safar mendapatkan rukhshah safar, selama ia masih dalam safar. Jika di tengah-tengah safar, ia memutus niat safarnya dan berniat tinggal di satu tempat, maka dilihat.
Kalau saat ia memutus niat tersebut, ia berhenti di satu tempat, maka niatnya tersebut dianggap, dan ia tidak lagi berstatus safar.
Namun jika ia terus melakukan perjalanan, tidak singgah di satu tempat, maka niatnya memutus safar tidak ada artinya, tidak dianggap, karena perjalanannya itu mendustakan niatnya. Sebagaimana disebutkan dalam Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, ditanya tentang orang haid yang membaca Ayat Kursi dan Surah Al-Falaq dan An-Naas, dengan niat dzikir.
BACA JUGA:Â Menggabungkan Niat Ibadah dan Tujuan Duniawi
Beliau menyatakan, jika bacaan Al-Qur’an yang dibaca itu memang biasa dibaca untuk dzikir atau doa, maka boleh diniatkan untuk dzikir, sehingga tak termasuk keharaman perempuan haid membaca Al-Qur’an.
Tapi jika fakta bacaan tersebut, bukan untuk dzikir, tapi memang untuk qiraah Al-Qur’an, seperti ayat dan surah yang ditanyakan, maka tidak bisa. Fakta yang ada, menyelisihi klaim niatnya tersebut.
Ada pelajaran di sini. Memang benar, amal itu tergantung niat. Imam Ibn Al-Mubarak menyatakan, “Kadang suatu amal kecil, menjadi besar nilainya, karena niatnya.” Namun di sisi lain, bisa jadi amalnya mendustakan niatnya.
Misal, orang yang senang memandangi wajah perempuan cantik, entah secara langsung (tentu ini jarang), atau lewat foto yang tersebar di media sosial (ini umum terjadi), kemudian ia katakan, itu niatnya mengagungkan Allah ta’ala yang telah menciptakan keindahan.
BACA JUGA:Â Hari Arafah; Bacaan Niat Puasa dan Keutamaannya
Namun amalnya mendustakan klaim niatnya, karena pria normal yang berlama-lama memandang wajah perempuan cantik, pasti karena syahwat. Kecuali dia seorang ga*y atau sudah dikebiri.
Atau orang yang senang mengejek dan mengumpat pihak lain, yang berbeda pendapat dengannya, pada perkara ilmiah. Lalu ia berkata, bahwa niatnya itu menyampaikan ilmu dan memberikan nasihat.
Amalnya mendustakan klaim niatnya. Karena orang yang benar-benar menyampaikan ilmu dan memberi nasihat, tidak akan menyertainya dengan ejekan dan umpatan.
Wallahu a’lam. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara