“BACALAH!” demikian ayat pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW. Dalam terminologi Bahasa Arab, “Bacalah” atau “IQRO” mempunyai kedudukan sebagai fi’il amr (kata kerja yang memerintah). Jadi, jika kita perhatikan lebih lanjut, kata “Bacalah!” yang dihembuskan kepada Rasulullah Muhammad SAW itu merupakan sebuah perintah dari Allah SWT.
Tidak heran jika kemudian, Rasulullah—yang walaupun merupakan seorang ummi (tidak bisa baca tulis)—sangat memperhatikan pentingnya membaca. Dalam satu riwayat, ketika para tawanan Yahudi yang ingin dibebaskan, maka mereka diharuskan mengajarkan sepuluh anak-anak Muslim untuk belajar baca-tulis. Dengan demikian, itu adalah tebusan bagi para tahanan Yahudi pada saat itu.
Pada masa kejayaan Islam di era dinasti Abassiyah dan Utsmaniyah, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang amat gemilang. Islam pada masa itu sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Ini terlihat dari munculnya para cendikiawan Muslim yang menonjol dalam bidang tertentu. Contoh saja dalam bidang ilmu agama, ada Ibnu Taimiyah, Imam Bukhari, Ibnu Qoyyim, Imam Al-Ghazali. Dalam bidang kedokteran ada Ibnu Sina atau atau di barat dikenal dengan nama Avicenna. Di bidang sastra ada Abu ‘Uthman ‘Umar bin Bahr al-Jahiz (776 M – 869 M), juga ada Abu Nuwas yang lebih kita kenal dengan sebutan Abu Nawas.
Ini semua karena pada waktu itu pemerintah mencanangkan sebuah gerakan revolusi dalam mengkaji, membaca, meneliti karya-karya dari naskah para pendahulu mereka. Baik dari para ilmuwan Yunani ataupun dari sumber Islam yang mutakhir, yakni Al-Qur’anul karim.
Tapi apa daya, budaya membaca tampaknya masih jauh dari kehidupan masyarakat kita ini. Membaca tampaknya hanya milik mahasiswa, akademisi, ilmuwan, dan pekerja kantoran. Itu pun membacanya jika ada “keperluan” saja. Dan jika kaum intelektualnya saja seperti itu, lantas bagaimana dengan para buruh, petani, nelayan, ibu rumah tangga, pedagang, pembantu, pengangguran dan lainnya? Mungkin mendengar nama buku saja sudah pusing.
Memang tak bisa dipungkiri, budaya membaca masih belum familiar di negeri ini, lebih-lebih pada masyarakat pedesaan, yang notabene jauh dari fasilitas pendidikan, perekonomian, dan pemerintahan.
Di negara maju seperti AS, Prancis, Jerman, Jepang, Inggris dan beberapa negara maju lainnya, budaya membaca hampir melingkupi seluruh lapisan masyarakatnya. Bahkan pedagang, buruh, penari, tukang semir sepatu, pengangguran, semuanya gemar membaca. Dengan membacalah mereka mengisi waktu kosongnya. Hal ini lebih-lebih di kalangan para intelektualnya seperti: akademisi, birokrat dan mahasiswa. Bandingkan, di Indonesia—anak-anak dan remaja lebih memilih bermain PS atau main game di warnet daripada membaca. Di Jepang, anak-anak yang berulang tahun hampir pasti selalu dihadiahi buku oleh teman-temannya. Di Indonesia, anak-anak mendapatkan sabun, mi instan, pensil, mobil-mobilan, boneka, dsb sebagai hadiah ulang tahun dari temannya.
Menurut data, negara dengan tingkat produktivitas membaca paling tinggi adalah Jepang, dimana rata-rata dalam satu hari mereka mampu menyelesaikan dua sampai tiga buku. Disusul selanjutnya oleh Amerika dan Eropa. Data juga menyebutkan di negara seperti Arab Saudi, rata-rata penduduknya hanya membaca beberapa lembar saja perminggu.
Bagaimana dengan Indonesia? Nol baca, alias minim sekali. Tidak heran jika kita jauh tertinggal dengan mereka. Wawasan dan ilmu pengetahuan mereka lebih-lebih dibandingkan kita. Analoginya, ketika kita baru mengetahui adanya kalkulator, mereka sudah mengenal yang namanya komputer. Selama ini kita hanya jadi pemakai saja dari semua kemajuan yang ada di dunia ini. Dari mulai mobil, sepeda, makanan, handphone, motor, bahkan peniti saja dibuat dari Cina.
Untuk itu, marilah kita budayakan membaca. Tidak harus sejak dini. Sekarang pun, ketika usia sudah beranjak remaja dan dewasa. Tidak mesti karena tinggal di kota. Di desa, apalagi. Jika tidak dari buku, majalah, koran, ya dari internet yang bisa diakses dari HP. Jangan hanya membuka internet untuk sekadar up-date status di Facebook.
Membaca adalah ciri dari masyarakat berperdaban maju. Ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa lain, insya Alloh bisa kita kejar jika di masyarakat telah tertanam budaya baca-tulis.
Ayo, membaca! []