KECERDASAN seseorang itu relatif. Kisah seorang anak kecil yang bernama Ma’un. Ia adalah anak yang kekurangan secara ekonomi. Tapi, dia cerdas dan memiliki tekad yang kuat dalam hidupnya.
Setiap hari sepulang sekolah pukul 13.30 WIB, Ali Ma’un, 13 tahun, bocah asal Dusun Becok, Kecamatan Merakurak, Tuban, Jawa Timur.Selepas mengganti baju seragam, dia langsung memanggul linggis dan ganco (cangkul kecil) di pundak kirinya.
Tangan kanannya menjinjing karung berisi peralatan seperti tatah, gergaji, dan peralatan besi lainnya. Dengan kaki telanjang disertai beban seberat 12,5 kg, Ma’un menyusuri perbukitan gersang sejauh 5 km dari tempat tinggalnya menuju Dusun Karangrejo, lokasi bukit kapur milik PT Perhutani.
Debu yang bertebaran diterjang angin sudah akrab dengan dua lubang hidungnya. Dia terus giat menggergaji bongkahan batu kapur untuk dijadikan bata kumbung (batu bata yang terbuat dari bangkahan batu kapur).
Setiap dua pekan dia hanya mampu membuat 150 bata kumbung dan dijualnya kepada bandar seharga Rp 200/bata. Artinya, setiap dua pekan dia bisa mendapatkan uang Rp 30 ribu.
Dia baru berhenti memeras keringatnya setelah adzan Maghrib. Pekerjaan ini ditekuninya sejak kelas 2 SD. Risiko kecelakaan yang senantiasa menghantui, tak membuatnya surut. Sudah puluhan nyawa melayang akibat longsoran bekas galian yang dibiarkan menganga.
“Bahayanya kalau musim hujan tiba, terowongan bekas galian mudah patah, padahal di bawahnya ada kegiatan memotong batu,” ungkap murid kelas dua SMP Nurul Huda, Tuban, itu.
Memang baginya hidup adalah pilihan. Sedep, ibu angkat yang merawat dan membesarkan Ma’un, kini mulai sakit-sakitan. Perempuan berusia senja itu tak sanggup lagi berpanas-panas menjadi buruh tani di ladang gersang di perbukitan kapur milik tetangganya.
“Kasihan simbok (ibu), dia sudah membesarkanku. Aku khawatir simbok sakit, nanti aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku tidak memilih risiko tapi ini adalah hidup yang harus aku jalani,” tutur Ma’un.
Tak hanya itu, dia juga mencucikan baju ibu angkatnya itu. Ma’un mengaku pernah melihat ibu angkatnya itu jatuh di dekat perapian saat hendak menanak nasi. Sejak itulah, dia tidak tega melihat ibu angkatnya bersusah payah menyiapkan makanan.
“Setelah aku lahir, belum genap lima hari, ibuku sudah pergi entah ke mana, sampai sekarang aku hanya hidup berdua dengan si mbok.
Meski harus menjalani kehidupan yang sangat menantang, dan akrab dengan kemiskinan, Ma’un tetap bersemangat melanjutkan sekolah hingga SMP. Jika dibanding teman-teman sebayanya yang mampu secara ekonomi, prestasi bocah kerempeng itu patut diacungi jempol.
“Prestasi Ma’un patut dibanggakan, jika dibanding dengan beban hidup yang harus ditanggungnya. Dia meraih peringkat pertama di seluruh kelas 2 di sini,” kata Rahmat Basuki, salah satu pengajar di SMP Nurul Huda, Desa Tegalrejo. Untunglah, beban hidup Ma’un ini dimengerti oleh yayasan pengelola sekolah tersebut. Seluruh biaya pendidikan digratiskan oleh sekolah milik Yayasan Nurul Huda tersebut. []
sumber: kisahinspirasi