SUATU hari Mama Hilmy bercerita, ia berkunjung ke rumah temannya. Betapa malunya ia karena sang teman memamerkan kemampuan membaca anaknya yang berusia 5 tahun begitu mempesona, mampu membaca majalah segala. Sedangkan Hilmy anaknya belum bisa membaca seperti anak temannya itu.
Beberapa waktu kemudian, kembali ia berjumpa sang teman. Anak temannya yang sempat dibanggakan bertingkah menjengkelkan.
Setiap ada orang jualan lewat selalu ingin dicegat. Ketika tak dipenuhi sang anak, Tantrum menangis tiada henti. Anak itu tidak hanya menangis, tapi juga memukul, menendang dan berteriak. Alhasil orangtuanya harus menuruti semua keinginannya.
Betapa sedih melihat hal itu terjadi. Anak ini bisa menghabiskan uang untuk jajan saja sebanyak lima puluh ribu rupiah. Padahal orangtuanya bekerja hanya sebagai buruh pabrik.
BACA JUGA:Â Anak Saya Nggak Belajar
Anak itu baru berusia lima tahun. Apa yang terjadi jika usianya lima belas tahun? Atau dua puluh lima tahun? Ternyata tak ada bedanya. Jika sejak kecil saat semua keinginannya dipenuhi, maka tambah besar ia akan lakukan hal yang sama. Tentu sudah tak lucu dan menggemaskan lagi bukan?
Mengapa hal ini terjadi? Anak masih kecil kita sudah repot setengah mati, makin besar tambah repot kita dibuatnya. Itu terjadi akibat kita tidak memberikan pendidikan yang benar, dengan alasan sayang anak atau malu oleh orang lain karena teriakan dan tangisannya.
Seharusnya, kita beri pijakan di awal apa yang boleh ia beli. Pijakan disampaikan sebelum tidur, misalnya dengan memberikan nasehat lembut tentang berapa uang jajan yang boleh ia gunakan.
Keesokan harinya kita tinggal mengingatkan. Jika hendak belanja ke supermarket atau pasar biasakan bicara di awal, apa kebutuhan yang hendak kita beli. Beri anak batasan apa saja dan berapa jumlah uang yang bisa ia gunakan untuk membeli sesuatu. Tentu hanya membeli yang sesuai kebutuhan.
Setibanya di supermarket, saat anak lupa aturan, kita cukup bicara, “Masih ingat aturannya, masih ingat nama barang yang akan kita beli, Mama percaya anak mama bisa ikut aturan.”
Jika anak menangis atau tantrum, tak perlu malu untuk bicara:
“Kamu kesal lalu menangis, boleh, silahkan, tapi semua baik-baik saja. Jika sudah tenang kita lanjutkan belanja. Jika masih butuh tenang sebaiknya kita kembali pulang.”
Tak usah peduli kata orang. Toh, kita yang merasakan repotnya mengurusi anak kita sendiri. Memberi batasan pada anak adalah hal baik untuk hidup mereka kelak. Karena hidup mengejar keinginan tentu amat sangat melelahkan bukan? []