KETIKA pertama kali Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam menerima wahyu agar menyeru orang-orang untuk beriman kepada Allah, tak seorangpun dalam keluarga Nabi yang ragu menerima seruan itu. Dan, Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama dari kalangan anak-anak yang beriman dan meyakini akan kenabiannya Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam. Padahal ketika itu Ali baru berumur sekitar delapan hingga sepuluh tahun.
Tak pernah redup kecintaan Nabi kepada sepupunya itu, Nabi merawatnya hingga dewasa. Tak pernah pula beliau meninggalkannya, kecuali saat Perang Tabuk, Nabi meninggalkan Ali di Madinah.
BACA JUGA: Bangunan Pertama Umat Islam
Ali kecil tidak pernah lepas dari Nabi. Bila tiba waktu shalat, Nabi biasa mengajak Ali ke celah-celah perbukitan untuk mengerjakan shalat secara sembunyi-sembunyi karena pada masa itu Islam belum tersebar luas. Namun akhirnya, Abu Thalib ayah Ali, melihat anaknya itu sedang beribadah dengan cara yang belum dikenal sebelumnya.
“Anakku, agama apa yang kaupeluk ini?” tanya Abu Thalib
Ali menjawab, “Ayah, aku telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Kuyakini kebenaran risalah yang Rasul bawa, aku mengerjakan shalat bersamanya kepada Allah, dan kuikuti ajarannya.”
Setelah Khadijah, Ali adalah orang pertama yang mengerjakan shalat bersama Rasulullah. Ali tidak pernah sekalipun bersujud kepada berhala. Ali begitu mencintai Rasulullah, begitu pula sebaliknya. Ketika Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, beliau menjadikan Ali sebagai saudara.
BACA JUGA: Rasulullah: Ya Allah, Muliakan Islam dengan Salah Satu dari Dua Umar
Ali sering mendapat tugas penting dari Nabi. Dalam banyak peperangan , ia bertugas membawa bendera. Keilmuannya pun diakui oleh Nabi , Ia orang yang dianggap pantas untuk dimintai keputusan.
“Ali adalah orang yang papling pandai memutuskan perkara,” kata Rasulullah.
Tak terhitung buku yang mengulas keutamaan keponakan Nabi ini. Ali tercatat meriwayatkan 586 hadist dari Rasulullah. []
Sumber: Sahabat-Sahabat Cilik Rasulullah, karya Dr. Nizar Abazhah, terbitan Dar al-Fikr, Damakus: 2009., hal. 62, 63, 64,65.