Ustadz, dewasa ini banyak anak hasil perzinaan atau perkosaan yang dibuang atau diberikan kepada seseorang. Setelah dewasa dan ia akan menikah, siapa wali nikahnya?
Rukun nikah itu adalah lima, yaitu shighat, mempelai perempuan, dua orang saksi, mempelai laki-laki, dan wali.
فَصْلٌ فِي أَرْكَانِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهَا وَأَرْكَانُهُ خَمْسَةٌ صِيغَةٌ وَزَوْجَةٌ وَشَاهِدَانِ وَزَوْجٌ وَوَلِيٌّ
“Fasal tentang rukun nikah dan selainnya. Rukun nikah itu ada lima yaitu, shigat, mempelai perempuan, dua orang saksi, mempelai laki-laki, dan wali,” (Baca: Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 3, h. 139).
Jadi wali merupakan salah satu rukun nikah, maka konsekwensinya adalah pernikahan tidak dianggap sah kecuali adanya wali.
اَلْوَلِيُّ أَحَدُ أَرْكَانِ النِّكَاحِ فَلَا يَصِحُّ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Wali adalah salah satu rukun nikah, maka nikah tidak sah tanpa wali,” (Taqiyyuddin al-Husaini al-Hushni, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-‘Ilm, juz, 2, h. 40)
Lantas siapakah wali bagi anak zina? Untuk menjawab soal ini maka terlebih dahulu kami akan mengetengahkan pandangan para ulama mengenai nasab anak zina.
Mayoritas ulama sepakat tidak menasabkan anak zina kepada ayah biologisnya, kecuali anak-anak yang lahir pada masa jahiliyah yang dinasabkan kepada siapa yang mengakuinya, setelah masuk Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin al-Khaththab ra.
وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ أَوْلَادَ الزِّنَا لَا يُلْحَقُونَ بِآبَائِهِمْ إِلَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَلَى اخْتِلَافٍ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الصَّحَابَةِ
“Mayoritas ulama sepakat bahwa anak zina tidak di-ilhaq-kan (dinasabkan) kepada bapak mereka kecuali anak-anak yang lahir pada masa jahiliyah sebagaimana yang diriwayatkan dari sayyidina Umar bin al-Khaththab ra, dan dalam hal ini terjadi perbedaan di antara shahabat” (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Mesir-Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet ke-4, 1395 H/1975 M, juz, 2, h. 358)
Dalam sebuah hadits, Rasul bersabda.
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak itu dinasabkan kepada suami yang sah sedangkan laki-laki yang berzina itu tidak dapat apa-apa.” (HR Bukhari no 6760 dan Muslim no 1457 dari Aisyah).
Berdasarkan hadits tersebut maka anak dinasabkan kepada suami yang sah. Jika tidak ada suami yang sah maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Oleh karena itu, anak yang lahir dari hasil perzinaan tidak di nasabkan kepada bapak biologisnya namun kepada ibunya.
Hal ini disebabkan nabi mengatakan bahwa laki-laki yang berzina tidak memiliki hak apa-apa pun terhadap hak nasab, perwalian dalam nikah, mewarisi, kemahraman ataupun kewajiban memberikan nafkah kepada anak, semuanya tidaklah dimiliki oleh laki-laki yang berzina (baca: bapak biologis).
Berdasarkan penjelasan di atas anak perempuan tersebut tidaklah memiliki wali untuk pernikahannya sehingga berlakulah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
“Penguasa adalah wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nikah.” (HR Abu Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh al Albani).
Jika penjelasan ini ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka laki-laki yang menikahi ibunya tidak bisa menjadi wali nikah bagi si anak perempuan tersebut, tetapi yang menjadi wali nikahnya adalah wali hakim, yaitu pejabat pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama atau yang mewakilinya sampai tingkat daerah yakni pejabat Kantor Urusan Agam (KUA). Wallahu a’lam. []