Oleh: Daud Bachtiar
Amil BAZNAS RI.
Penggiat Bendidikan dan Bahasa.
Alumni Prodi Tarjamah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
dawudbachtiar@gmail.com
CHARITIES Aid Foundation (CAF) menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan berdasarkan World Giving Index tahun 2021. hal ini menjadikan Indonesia sebagai lahan yang subur bagi lembaga filantropi yang bergerak atas himpunan dana donatur, tak terkecuali zakat.
Lembaga filantropi berbasis dana Zakat, Infak, Shadaqah (ZIS) terus menunjukan trend yang meningkat. Menurut Nur Efendi, CEO Rumah Zakat, bahwa pertumbuhan zakat di Indonesia terus meningkat 20-30% pertahunnya. Dengan dana yang terus bertambah ini berimplikasi kepada semakin luasnya program pendistribusian dan pendayagunaan.
Berdasarkan QS. At-Taubah ayat 60, terdapat delapan golongan yang berhak menerima zakat (mustahik). Mereka adalah fakir, miskin, amil, mualaf, riqab (hamba sahaya), gharimin (orang yang memiliki hutang), fi sabilillah, dan ibnu sabil. Dalam praktiknya, penyaluran dana zakat dan menyasar langung kepada lebih dari satu golongan mustahik sekaligus. Salah satunnya adalah penggunaan dana zakat untuk pendidikan.
BACA JUGA: 4 Keistimewaan Menyantuni Anak Yatim dalam Islam
Pendidikan menjadi salah satu fokus pendistribusian lembaga filantropi berbasis zakat, selain dana langsung yang diberikan berbentuk beasiswa. Program berbentuk sekolah gratispun sudah banyak dikelola, terkhusus bagi mereka yang sudah mencapai kategori Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS). sebut saja Sekolah Cendekia BAZNAS yang dikelola BAZNAS, Smart Ekselensia yang dikelola Dompet Dhuafa, Sekolah Juara yang dikelola Rumah Zakat dan sekolah-sekolah lain yang tersebar di Indonesia.
Hegemoni zakat untuk pendidikan perlu dikaji siapa yang berhak menerimanya, karena khusus zakat hanya 8 golongan yang berhak, diluar dari itu menjadi sebuah larangan. Bahkan seorang yatimpun karena tidak termasuk dalam QS at-Taubah ayat 60 menjadikannya tidak berhak menerima dana zakat jika asasnya adalah yatim.
Pada praktiknya, banyak lembaga pendidikan berbasis zakat memberikan bantuan biaya untuk yatim, bahkan untuk orang yang mampu secara finansial juga tidak luput dari penerima beasiswanya. Hal ini memang sedikit tabu jika langsung melihat 8 golongan mustahik. Maka ulama memberikan solusi terhadap asnaf ini, yang akan menjadi melebar sepanjang pemanfaatan zakat tersebut.
Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min al-Husaini, dalam kitab Kifayah al-Akhyar menjelaskan bahwa secara eksplisit jika zakat diberikan kepada anak yatim pada zaman Rasulullah merupakan hal terlarang, karena anak yatim mendapatkan bagiannya dari ghanimah (harta rampasan perang) tidak dari zakat. Namun karena perkembangan zaman yang menjadikan ghanimah sudah tidak ada, maka anak yatim dapat diberikan zakat jika beririsan dengan 8 golongan dalam QS. At-Taubah ayat 60.
Lebih rinci dari itu, Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan dalam Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib) bahwa 4 golongan pertama yang disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 60 berhak langsung diberikan dana zakat, yang dengan dana tersebut mereka dapat memanfaatkannya berdasarkan kemauan mereka. Akan tetapi untuk 4 golongan terakhir yang disebutkan, dana zakat tidak diberikan untuk menjadi milik mereka, akan tetapi diserahkan karena ada sesuatu kebutuhan atau keadaan yang menyebabkan mereka berhak menerima zakat.
Empat golongan yang berhak menerima dana zakat karena sebab/kondisi ini juga dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Muhgni, “Empat golongan terakhir yang disebutkan, yaitu orang yang berhutang, memerdekakan budak, keperluan di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan. Mereka mendapatkan zakat dengan catatan apabila dipergunakan sesuai dengan ketentuannya”
Dalil ini menunjukkan bahwa dengan 4 kategori terakhir memberikan peluang untuk diberikan kepada siapapun dengan syarat tujuannya menyejahterakan. Dengan ini pula mengisyaratkan bahwa anak yatim yang tidak berhak menerima zakat, namun dikarenakan jika ia miskin dan butuh pendidikan, menjadikannya berhak menjadi asnaf dalam zakat. Terlebih pendidikan terbukti sepanjang zaman menjadi jalan tercepat mengubah keadaan, termasuk kemiskinan.
Pendidikan/orang yang tengah mengenyam pendidikan memang tidak secara eksplisit disebutkan sebagai golongan yang berhak menerima zakat (asnaf). para ulama memasukan golongan pendidikan kepada fii sabilillah. Dalam makanya, kategori fii sabilillah merupakan orang yang berjuang di jalan Allah sehingga karena bejuangnya menjadikan ia tidak sempat untuk mencari nafkah.
BACA JUGA: Inilah 5 Keutamaan Anak Yatim Menurut Al-Quran
Ibnu Atsir menjelaskan bahwa sabilillah adalah lafadz atau kalimat yang bersifat umum, mencakup segala perbuatan ikhlas untuk bertaqarrub kepada Allah, melaksanakan segala perbuatan yang wajib, sunnah dan berbagai macam kegiatan baik lainnya. Maka sudah selayaknya tidak menyempitkan makna fii sabilillah hanya termasuk orang yang berjuang di jalan Allah dengan cara berperang melawan kaum kafir. Namun perlu memperluas makna berjuang di jalan Allah, sehingga orang yang berjuang dalam pendidikan, dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan pun termasuk kateori fii sabilillah. []