”BOLEHKAH saya curhat tentang mendidik anak, Bunda?” tanya seorang teman.
Saya jawab, “Silahkan, mudah-mudahan saya bisa membantu.”
“Saya memiliki anak laki-laki usia 19 bulan, aktif banget, Bunda. Kalau lagi diajak jalan-jalan di luar pasti tetangga pada ngomong gini, ‘Pantesan, ibunya langsing, anaknya nggak mau diam.’ Maklumlah Bunda, anak cowok kebanyakan memang gitu,” ujar teman saya itu.
“Saya sangat bersyukur dianugerahi buah hati oleh Allah. Tapi yang jadi masalah adalah kurangnya kesabaran saya dalam mendidik dan merawat anak saya. Kadang di saat capek, ada saja tingkah lakunya yang memancing emosi saya, seperti numpahin air di ruang tamu, pegangin anti nyamuk yang lagi nyala. Dan kegiatan lain yang membuat saya emosi.”
“Kalau sudah begitu, saya bentak atau saya marah, tapi saya antimemukul atau mencubit, dan bentuk fisik lainnya. Saya merasa jadi ibu yang nggak baik. Dalam hati saya sebenarnya saya nggak mau membentak anak saya, tapi rasa capek mengalahkan rasa iba saya terhadapnya. Saya ingin jadi ibu yang sabar, yang tidak menyakitinya dengan kata-kata saya.”
Saya tersenyum kemudian menanggapinya, “Pertama saya ralat kata-kata, ‘Anak gak mau diam’. Mari kita ubah dengan ‘Anak senang bergerak.’ Anak usia 19 bulan memang harus banyak bergerak, melihat, meraba, mendengar, mencium.
Ia bergerak untuk mendapat pengetahuan, ia lakukan semua hal, ia mau mencoba segala sesuatu. Ia lihat atau amati suatu benda kemudian ia pegang untuk merasakannya. Ia sedang melakukan uji coba. Ia sedang meneliti. Melalui itu semua ia belajar. Jika kita hambat, maka ia akan berhenti jadi peneliti. Menghambat dengan apa? Memarahi, memelototi, berteriak, mengata-ngatai dan hal-hal negatif lainnya.
“Ketika ia menumpahkan air kenapa kita harus marah? Ibu yang cerdas melihat air tumpah akan bicara, ‘Wah ada air yang tumpah, sekarang airnya pindah ya, dari gelas pindah ke lantai, coba lihat gelasnya kosong, tadi gelasnya berisi air. Perhatikan lantainya, air menggenang di lantai. Lantainya basah oleh air. Nah, agar lantainya tidak licin, kita harus keringkan lantainya, ayo kita ambil lapnya. Sekarang mama lap lantainya, alhamdulillah lantainya sudah kering, airnya berpindah dari lantai ke lap. Sekarang yang basah lapnya’.”
Dari air yang tumpah saja anak mendapat pengetahuan. Pengetahuan tentang volume, kosong dan isi. Pengetahuan sains tentang perpindahan benda cair. Pengetahuan bahasanya bertambah dengan adanya penambahan kosakata baru. Mengenal lawan kata basah kering. Melalui itu semua anak belajar.
Kita menjadi marah, tidak sabar karena kita belum menjadi ibu yang cerdas. Mendidik anak tanpa ilmu membuat kita jadi ibu yang serba tidak tahu. Alasan capek membuat kita berubah jadi ibu yang mengerikan. Seharusnya kita memahami, menjadi kita pasti capek.
Namun jika dilalui dengan penuh keikhlasan dan menikmati tugas yang Allah berikan. Capek kita akan berbuah kebahagiaan. Maka masihkah harus marah pada bayi kita? []