WASHINGTON—Aksi Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu membeberkan program nuklir Iran menuai kritik. Kritik ini dilontarkan mantan penasihat hak asasi manusia (HAM) PBB dan analis Timur Tengah James A. Paul melalui sebuah media massa Rusia. Paul mengatakan kemarahan Netanyahu atas Iran itu ironis dan salah tempat.
“Untuk setiap pengamat yang berpengetahuan, sungguh ironis bahwa Israel, yang program senjata nuklir rahasianya sejauh ini adalah yang paling berbahaya di kawasan itu, mengeluh tentang dugaan senjata nuklir di negara tetangga,” katanya.
Paul mengatakan, Israel memiliki gudang senjata nuklir besar yang didokumentasikan dengan baik dan siap digunakan.
“Israel sebenarnya memiliki senjata nuklir yang nyata dan siap tempur dan telah memilikinya untuk beberapa waktu. Apakah Washington mengeluh atau mengancam akan mengambil tindakan? Tentu saja tidak!” kritik Paul.
Bagi Paul, argumen Netanyahu maupun Presiden Donald Trump bertentangan dengan logika dan akal sehat.
“Kita hidup di dunia Alice-in-Wonderland di mana senjata nuklir negara-negara yang tidak bersahabat dianggap sebagai ancaman bagi perdamaian dunia dan senjata nuklir sekutu dipandang sebagai sesuatu yang masuk akal dan dipertahankan,” ujarnya.
Seperti diketahui, Senin (1/5/2018), Netanyahu membeberkan banyak dokumen yang diklaim sebagai arsip otentik tentang program senjata nuklir Iran. Dokumen itu diklaim diperoleh melalui kerja intelijen Israel, Mossad.
Sebuah media Amerika mengutip pernyataan pejabat Israel yang menyebut bahwa dokumen tersebut diambil mata-mata Mossad dari sebuah gudang rahasia di Iran pada tahun 2016.
Aksi Netanyahu membeberkan dokumen program pembuatan senjata nuklir Iran itu dinilai sebagai suatu kesengajaan untuk untuk memberikan dukungan politik kepada Trump agar Amerika Serikat (AS) menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran tahun 2015.
“Saya merasa sulit untuk memprediksi apa dampak yang ditimbulkan oleh konferensi pers Perdana Menteri Netanyahu mengenai masa depan kesepakatan nuklir Iran, meskipun presentasi dramatisnya mungkin akan memberikan sejumlah dampak tertentu bagi keputusan Presiden Trump yang diharapkan untuk menarik diri dari kesepakatan (nuklir Iran),” kata Paul.
Pernyataan Netanyahu, lanjut Paul, berpotensi menciptakan keraguan dalam pikiran publik tentang keandalan kesepakatan nuklir Iran sebagai instrumen perdamaian.
“Mereka yang tahu benar-benar menyadari bahwa Netanyahu telah lama memukul drum terhadap senjata nuklir Iran dan jadi klaimnya bukanlah sesuatu yang baru dan tentu saja tidak mengherankan. Selanjutnya, bukti yang dia sajikan adalah tentang program di masa lalu, jauh sebelum kesepakatan nuklir disetujui,” papar Paul.
Paul menambahkan, argumen Netanyahu dianggap banyak ahli tidak memberikan bukti baru atau mengubah permainan untuk isu program nuklir Iran yang diselesaikan dalam perjanjian 2015.
“Tampaknya tidak ada bukti dalam kumpulan dokumen besar ini yang menunjukkan bahwa Iran memiliki program senjata nuklir saat ini, bertentangan dengan kesepakatan itu,” katanya.
Rabu (3/5/2018), Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS Bob Corker mengatakan bahwa Presiden Donald Trump hampir pasti akan membuat AS menarik diri dari perjanjian nuklir internasional 2015 dengan Iran pada bulan ini.
Menanggapi hal itu, Paul mengkritik bukti tidak akurat yang telah diklaim AS dan Inggris Raya tentang dugaan program Senjata Pemusnah Massal di Irak sebelum Perang Teluk 2003. Menurutnya, skandal itu memberi lebih banyak alasan untuk berhati-hati dan skeptis tentang klaim Netanyahu tentang masalah nuklir Iran saat ini.
“Pada tahun 2002 dan 2003, kami diyakinkan oleh CIA dan MI6 bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal dari segala jenis dan dalam jumlah besar. AS dan sekutu Inggris-nya berperang untuk ‘melucuti senjata’ Irak tetapi tidak menemukan senjata yang mereka miliki. Kata mereka akan menemukan,” ujar Paul. []
SUMBER: SPUTNIK | NEW YORK TIMES