Oleh: Alfiz Rahdian
Mahasiswa STEI SEBI Depok
Bekerja merupakan kewajiban bagi manusia untuk memenuhi hajat hidupnya, dalam syariat islam dapat dikatakan sebagai usaha merealisasikan maqashid syariah dalam hifdzul mal min janib al-wujud (Melindungi hajat harta dari aspek menyediakan harta). Dengan bekerja maka akan diraih sebuah penghasilan. Penghasilan tersebut dapat dikatakan sebuah harta yang memiliki nilai.
Penghasilan yang didapatkan, pemilik berhak menggunakan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sekarang maupun rencana untuk masa yang akan datang dan menginfakkannya sesuai dengan ketentuan syariah tanpa Israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (pemubadziran).
Jika terdapat kelebihan harta setelah diinfakkan dan dicadangkan secukupnya untuk masa yang akan datang, maka dana tersebut tidak boleh didiamkan, karena perbuatan tersebut merupakan penimbunan harta yang dilarang menurut Al-Quran dan Al-Hadits, yakni dalam dalil surah At-Taubah ayat 34 : …..orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, kepada mereka beritahukanlah bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. Dalam kutipan ayat diatas secara tafsir ialah ancaman bagi mereka yang tidak menunaikan zakat pada emas dan perak serta lebih memilih untuk menyimpan harta-harta mereka. Maka perbuatan penimbunan harta tanpa hak merupakan hal yang terlarang.
Dalam perspektif maqashid syariah penimbunan harta tersebut merupakan hal yang bertentangan. Manusia berkewajiban untuk mengembangkan harta (menginvestasikan) sehingga terjadi penambahan produksi dan merupakan maksud (Maqashid) Allah SWT dalam menyiapkan kekuatan umat Islam dalam menghadapi musuh-musuh Allah sebagaimana firman Allah SWT ; ”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya” (Al-Anfal, 8 : 60)
Jika dilihat dalam aspek ekonomi, apabila harta ditimbun dan tidak diinvestasikan, harta tersebut akan menjadi harta yang tidak berguna. Penimbunan harta akan berpengaruh terhadap perekonomian secara umum, penimbunan harta akan mempengaruhi sirkulasi dan pertukaran harta di tengah roda perekonomian. Hal tersebut karena pendapatan seseorang atau lembaga, tidak lain berasal dari harta orang atau lembaga lainnya, apabila alat pertukaran harta yang dimaksud ialah uang. Jika seseorang menimbun uang, maka artinya uang itu tidak masuk ke pasar, kemudian sirkulasi harta terganggu. Pada suatu tingkat tertentu, apabila harta (uang) yang ditimbun sangat banyak, maka roda perekonomian pun akan sangat lambat dan mengakibatkan kemerosotan perekonomian.
Di dalam buku Al-Ihya, Imam Al-Ghazali juga mengecam orang yang menimbun harta dan tidak ditransaksikan atau diinvestasikan dalam sektor riil :
“Jika seorang menimbun dinar dan dirham, ia berdosa. Dinar dan dirham tidak memiliki guna langsung pada dirinya. Dinar dan dirham diciptakan supaya beredar dari tangan ke tangan, untuk mengatur dan memfasilitasi pertukaran……”
Islam menganjurkan untuk menginvestasikan hartanya agar dapat berputar dalam roda perekonomian, jika harta terus ditimbun oleh sebagian manusia, maka harta tersebut dapat mengganggu roda perekonomian. Disamping itu merupakan maksud (Maqashid) Allah SWT harta harus diinvestasikan untuk meningkatkan produksi dalam rangka menyusun kekuatan untuk mengantisipasi ancaman kepada umat ini (dari musuh-musuh Allah). []
Referensi: Dr. Oni Syahroni, Ir. Adiwarman A. Karim, Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam sintesis fikih dan ekonomi, (Depok: Rajawali Pers), 2017, Cet-3, Hlm 76-78
http://tsaqofah.id/kanz-al-mal-menimbun-harta/