Oleh: Fitria Kurniawan
Siapakah Abu Mihjan?
Beliau adalah seorang laki-laki yang sangat sulit menahan diri dari meminum khamr (minuman keras). Beliau sering dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk diterapkan hukum cambuk (Jild) padanya karena perbuatannya itu. Bahkan Ibnu Jarir menyebutkan Abu Mihjan tujuh kali dihukum cambuk. Tetapi, dia adalah seorang laki-laki yang sangat mencintai jihad, perindu syahid, dan hatinya gelisah jika tidak andil dalam aksi-aksi jihad para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum.
Hingga datanglah perang Al Qadisiyah yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqash radhiallahu ‘Anhu melawan Persia, pada masa pemerintahan Khalifah Umar radhiallahu ‘Anhu. Abu Mihjan ikut andil di dalamnya, dia tampil gagah berani bahkan termasuk yang paling bersemangat dan banyak membunuh musuh. Tetapi, saat itu dia dikalahkan keinginannya untuk meminum khamr, akhirnya dia pun meminumnya. Maka, Sa’ad bin Abi Waqash menghukumnya dengan memenjarakannya serta melarangnya untuk ikut jihad.
Di dalam penjara, dia sangat sedih karena tidak bisa bersama para mujahidin. Apalagi dari dalam penjara dia mendengar suara dentingan pedang dan teriakan serunya peperangan, hatinya teriris, ingin sekali dia membantu kaum muslimin melawan Persia yang Majusi. Hal ini diketahui oleh istri Sa’ad bin Abi Waqash yang bernama Salma, dia sangat iba melihat penderitaan Abu Mihjan, menderita karena tidak dapat ikut berjihad, menderita karena tidak bisa berbuat untuk agamanya! Maka, tanpa sepengetahuan Sa’ad (yang saat itu sedang sakit, dan dia memimpin pasukan melalui pembaringannya, serta mengatur strategi di atasnya), beliau membebaskan Abu Mihjan untuk dapat bergabung dengan para mujahidin. Abu Mihjan meminta kepada Salma kudanya Sa’ad yaitu Balqa dan juga senjatanya. Beliau berjanji, jika masih hidup akan mengembalikan kuda dan senjata itu, dan kembali pula ke penjara. Sebaliknya jika wafat memang itulah yang dia cita-citakan.
BACA JUGA: Khabib dan Miftah; Teladan Prioritas
Abu Mihjan berangkat ke medan tempur dengan wajah tertutup kain sehingga tidak seorang pun yang mengenalnya. Dia masuk turun ke medan jihad dengan gesit dan gagah berani. Sehingga Sa’ad memperhatikannya dari kamar tempatnya berbaring karena sakit dan dia takjub kepadanya, dan mengatakan, “Seandainya aku tidak tahu bahwa Abu Mihjan ada di penjara, maka aku katakan orang itu pastilah Abu Mihjan. Seandainya aku tidak tahu di mana pula si Balqa, maka aku katakan kuda itu adalah Balqa.”
Sa’ad bin Abi Waqash bertanya kepada istrinya, dan istrinya menceritakan apa yang terjadi sebenarnya pada Abu Mihjan, sehingga lahirlah rasa iba dari Sa’ad kepada Abu Mihjan.
Perang usai, dan kaum muslimin menang gilang gemilang. Abi Mihjan kembali ke penjara, dan dia sendiri yang memborgol kakinya, sebagaimana janjinya. Sa’ad bin Waqash radhiallahu ‘anhu mendatanginya dan membuka borgol tersebut, lalu berkata, “Kami tidak akan mencambukmu karena khamr selamanya. Abu Mihjan menjawab, “Dan Aku, Demi Allah, tidak akan lagi meminum khamr selamanya!”
(Kisah ini ditulis dengan tinta emas para ulama Islam, di antaranya Imam Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala pada Bab Sirah Umar Al Faruq. (2/448. Darul Hadits, Kairo), juga Usudul Ghabah-nya Imam Ibnul Atsir. (6/271. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)).
Bahkan Imam Al Bukhari telah membuat Bab dalam kitab Shahihnya, “Innallaha Yu’ayyidu Ad Diin bir Rajul Al Faajir” (Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya melalui seseorang yang fajir). Menunjukkan bahwa ada kalanya pelaku maksiat, seorang fajir, justru dia melakukan aksi-aksi nushrah (pertolongan) terhadap agamanya, dibanding laki-laki yang shalih. Dan kita berharap semoga aksi-aksi nushrah tersebut bisa merubahnya dari perilaku buruknya, dan dia bisa mengambil pelajaran darinya sampai dia berubah menjadi orang shalih yang berbuat kebaikan, dan bukan orang fajir yang berbuat kebaikan. Jadi tidak selamanya pembela-pembela agama Allah hanya dari kalangan orang shalih saja, tapi bisa juga datang dari kalangan pelaku maksiat sekalipun.
Perbuatan meminum khamr dan profesi sebagai pemabuk adalah haram dalam Islam. Namun ketika Abu Mihjan sedang membela agama Allah, apakah lantas manusia saat itu menutup mata sambil berkata, “Dia pemabuk, dia pelaku maksiat, jangan dibela, biarkan kami saja yang taat yang membela agama Allah…atau biarkan orang-orang Shalih saja yang pergi berjihad dan membela agama Allah. Islam tegak hanya dari orang-orang shalih saja. Cukup ambil tauladan dan pelajaran dari orang-orang shalih.” Tidak seperti itu sikap manusia saat itu kepada Abu Mihjan. Bahkan Sa’ad dan isterinya turut berapresiasi kepadanya sehingga membawa perubahan besar kepada Abu Mihjan untuk meninggalkan khamer selamanya.
Mereka juga mengetahui bahwa meminum khamer adalah haram hukumnya, seperti halnya profesi tinju yang diharamkan dalam Islam. Lantas apakah dengan perbuatannya lalu kita berlepas diri darinya dalam segala hal? Bahkan sebagian ikhwan ada yang sampai membawa permasalahan ini ke ranah manhaj?! Dijadikan sebagai barometer dan tolak ukur manhaj seseorang?! Sejak kapan ada standarisasi kalau pro dalam masalah ini maka manhajnya ini, adapun yang kontra maka manhajnya ini. Semua punya porsi masing2. Seseorang yang memiliki profesi sebagai petinju, pekerja ribawi (pegawai bank), preman, artis film, pelacur, musisi, dan hal-hal yang diharamkan lainnya tidak menjadikan semua yang dilakukannya adalah haram. Adakalanya dia juga berbuat kebaikan seperti ibadah, sedekah, dan lainnya. Terlebih lagi jika konteksnya antara muslim dengan kafir, setidaknya ada rasa kepedulian dari diri kita dalam hal ini. Sebatas apresiasi atau kepedulian terhadap seorang muslim yang membela agamanya lantas bukan berarti kita menghalalkan atau membenarkan profesinya yang dilarang Islam, karena hal itu terpisah dan tidak bisa digabungkan, apalagi sampai dibawah ke konteks yang lebih sempit, yaitu ranah manhaj.
BACA JUGA: 5 Fakta tentang Sosok Khabib Nurmagomedov
Mereka adalah saudara kita, sama-sama muslim. Dan mereka sedang berhadapan dengan orang-orang non muslim yang benci terhadap Islam. Setidaknya kita masih punya ghirah atau cemburu jika agama kita juga dihina, walaupun kita tidak membenarkan cara atau sikapnya. Namun setidaknya kita mengakui mereka juga punya kebaikan yang bisa menghapus keburukan-keburukan yang dilakukannya, atau bisa jadi malah mereka yang lebih baik dari kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik, niscaya itu akan menghapuskannya.” (HR. At Tirmidzi No. 1987, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21354, 21403, 21487, 21536, 21988, 22059, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 296, 297, 298, juga Al Mu’jam Ash Shaghir No. 530, Ad Darimi No. 2833, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 178, katanya: “Shahih, sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.” Disepakati oleh Imam Adz DZahabi dalam At Talkhish. Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Al Albani menghasankannya dalam kitab mereka masing-masing)
Wallahu ta’ala a’lam. []