Oleh: Herri Mulyono
Teman sekolah saya sewaktu di sekolah menengah, kami memanggilnya Inra. Ia sekarang menjadi seorang dokter. Sekarang kami memanggilnya, dr. Inra.
Bagi saya, Inra menjadi seorang dokter bukan hal yang mengejutkan. Pasalnya, ayah Inra adalah seorang dokter dan sedari dahulu, teman saya ini sangat menggemari mata pelajaran kimia. Malah saya yang seringkali meminjam modul-modul belajar darinya. Namun yang membuat saya dan teman-teman terkejut adalah ternyata Inra adalah dokter spesialis anak, atau pediatri.
Di forum alumni itulah kami saling bercanda tentang Inra sebagai dokter anak. Ya memang, saya tidak bisa membayangkan bahwa Inra dengan postur tubuhnya dan karakternya yang lucu itu menjadi dokter anak. Sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana Inra ini berinteraksi dengan anak-anak, mulai dari merayu, menyuntikkan jarum itu ke lengah anak-anak yang mungil, sampai mendengarkan teriakan, jerit tangis anak-anak yang sedang ia obati.
“Memang kamu bisa menangani anak-anak?” tanya salah satu teman di grup alumni.
“Saya tidak yakin…kok kamu bisa jadi dokter anak?” yang lain menimpali.
“Jangan-jangan anak-anak menangis histeris melihat kamu,” ujar yang lain.
“Hati-hati, nanti anak-anak pada kapok lagi sama pak dokter.”
Di forum, Inra menjadi bahan candaan kami. Maklumlah sudah hampir 20 tahun kami tidak berjumpa. Dan pertemuan kami pada malam itu mengingatkan kami mengenai memori masa-masa sekolah dahulu.
Inra menanggapi candaan kami dengan santai. Serasa semua itu mudah. Bahkan bukan masalah bagi beliau. Malam itu, Inra menjawab candaan kami dengan kata kunci,
“Tidak mengapa anak menangis, toh nanti orang tuanya, kalau anak-anaknya sakit lagi akan balik ke saya.”
Inra begitu yakin dengan kata-katanya malam itu. Begitu meyakinkan sehingga benar-benar membuat saya berpikir, dan beranalogi hubungan Allah –dunia– hamba seperti hubungan Inra –anak– orang tua anak.
Analoginya seperti ini:
Inra mengobati anak dengan sungguh-sungguh. Tentunya, bila memang harus, anak-anak harus disuntik. Tentunya anak-anak akan menangis karena sakit. Tak jarang anak-anak meronta minta di lepas pergi.
Tapi, agar si anak sembuh, Inra tetap harus menyuntiknya. Walaupun akhirnya sembuh, sang anak mohon-mohon kepada orang tua mereka agar tidak lagi datang ke dr Inra yang telah menyuntik mereka dengan serum obat.
Tapi, orang tua tahu, bahwa Inra adalah dokter anak yang handal. Dan walaupun Inra telah membuat anak-anak mereka menangis, tapi terbukti Inra, dengan ijin Allah, telah menyembuhkan putra-putri mereka. Mereka kembali akan membawa anak-anak mereka, bila sakit, ke dr Inra. Walaupun sang anak kerap menolaknya. Artinya, orang tua lah yang menentukan sang anak di bawa ke Inra dengan atau tanpa persetujuan anak.
Kadang dalam hubungan kita sebagai hamba, dunia dan Allah; kita sering mengandalkan dunia. Dunia dalam analogi cerita Inra di atas adalah anak. Kita ingin mendapatkan harta atau bahagia, kita mengandalkan dunia atau bahkan mengejar-ngejar dunia. Padahal, yang membawa kita ke dunia (anak dalam analogi diatas) bukan dunia itu sendiri.
Dalam analogi cerita Inra, yang menjadi penentu atau yang membawa anak ke Inra adalah orang tua. Bila Allah kita analogikan sebagai orang tua, maka seharusnya kita mendekatkan kepada Nya bila kita menginginkan dunia atau kebahagiaan.
Contohnya, bila kita ingin mendapatkan jodoh, tidak selalu kita harus mengejar jodoh yang kita inginkan. Kita wajib mengejar Allah yang memiliki jodoh itu dan meminta Allah untuk mengirimkannya kepada kita.
Contoh lainnya adalah tentang rejeki yang selalu kita pikir dijembatani melalui sebuah pekerjaan. Kita kerja keras, kadang siang malam, untuk mendapatkan rejeki yang banyak. Kita beranggapan bahwa rejeki yang banyak adalah bekal hidup agar bahagia. Tapi kita lupa bahwa Allah lah yang memiliki rejeki dan kebahagiaan. Padahal, untuk mendapatkan rejeki dan bahagia itu, kita cukup mendekati Allah yang memiliki keduanya. Banyak orang yang memiliki rejeki yang banyak tapi sedikit bahagia. Masalah utamanya adalah karena mereka memang tidak memiliki Alah dalam rejeki dan bahagia tersebut.
Inti dari tulisan ini adalah, untuk memperoleh sesuatu kita harus mendekati Allah yang memiliki sesuatu itu. Jangan menggantungkan harapan dan tujuan pada sesuatu yang kita inginkan tersebut. -Karena Allah lah yang maha berkehendak atas segala sesuatu.Banyak jalan dalam mendekatkan diri kepada Allah dan berharap agar Allah menjawab keinginan kita. Dua tiang utama yang diajarkan dalam agama kita adalah melalui sholat dan sabar. Namun yang perlu diingat adalah, sholat dan sabar ini juga harus diiringi dengan tawakal dan ikhtiar.
Seperti di firmankan Allah dalam ayatnya yang mulia: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah Menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Al Ra’d, ayat 11). Wallahualambishawab. []