AKHIR-akhir ini telinga kita akrab dengan istilah Fatwa. Fatwa menjadi buah bibir menjelang akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017. Dalam kamus bahasa Indonesia fatwa memiliki arti keputusan, pendapat yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.
Sebelumnya kita mengetahui, fatwa adalah produk hukum yang dikeluarkan oleh MUI. Namun ternyata, Mahkamah Agung pun juga bisa mengeluarkan fatwa atas permintaan lembaga negra.
Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (terakhir diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009) menegaskan MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dengan UU tersebut. Fatwa MA berisi pendapat hukum MA atas sesuatu masalah, yang diberikan atas permintaan lembaga negara.
Dalam ‘Kamus Hukum’ karya Sudarsono (2009: 127), fatwa diartikan sebagai pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Buku Kamus Hukum karya Charlie Rudyat (tanpa tahun: 177), fatwa diartikan sebagai nasehat, petunjuk, atau keputusan yang disampaikan oleh ahli hukum Islam; jawaban terhadap satu pertanyaan yang diajukan pada seorang ahli di bidangnya yang tidak begitu jelas hukumnya. Dalam Kamus Hukum karya Yan Pramadya Puspa (2008: 241), fatwa disebut juga advice karena ia merupakan nasehat, petunjuk atau keputusan yang disampaikan oleh ahli hukum Islam.
Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin, dalam makalahnya “Proses Pembentukan dan Dikeluarkannya Fatwa MUI” (2017), menuliskan fatwa merupakan jawaban terhadap problem dan permasalahan yang dihadapi oleh ummat Islam yang semakin hari semakin bertambah kompleks dan beragam. Fatwa merupakan ‘jalan keluar yang memberikan jawaban keagamaan terhadap permasalahan yang muncul’.
Dengan demikian, istilah fatwa ada dalam hukum positif Indonesia sesuai dengan konteksnya. Bahkan fatwa dijadikan sebagai bagian dari konsiderans peraturan perundang-undangan nasional, seperti dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Hukum Positif
Hukum dalam arti luas tak hanya soal perundang undangan, tetapi juga bisa berupa kebiasaan. Bahkan dalam konteks kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat, dikenal kaidah hukum, kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan. (Baca juga: Arti Ius Constitutum dan Ius Constituendum).
Bagir Manan, dalam bukunya ‘Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik)’, edisi 2004, mengartikan hukum positif (Indonesia) sebagai ‘kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia (hal. 1).
Pengertian ini menekankan frasa ‘pada saat ini sedang berlaku’. Secara keilmuan (rechtwetenschap), pengertian hukum positif diperluas kepada hukum yang pernah berlaku di masa lalu. Secara keilmuan, hukum positif itu memasukkan unsur ‘berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu’.
Dalam konteks yang lebih sempit Bagir Manan mengartikan hukum positif sebagai hukum yang sedang berlaku atau sedang berjalan, tidak termasuk hukum di masa lalu. Mantan Ketua Mahkamah Agung itu menyimpulkan unsur-unsur hukum positif Indonesia, yakni: (1) pada saat ini sedang berlaku; (2) mengikat secara umum atau khusus; (3) ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan; (4) berlaku dan ditegakkan di Indonesia.
Jika hukum keagamaan dianggap sebagai hukum positif artinya hukum dari agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan suatu kebijakan Pemerintah yang mengakui semua sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang oleh pengikutnya dipandang sebagai agama.
Setidaknya, menurut Bagir Manan (2004: 32-33), ada tiga cara menyatakan hukum agama menjadi hukum positif. Pertama, mengakui bahwa hubungan atau peristiwa hukum tertentu berlaku hukum agama. Misalnya, pernyataan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut agamanya masing-masing (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Kedua, memasukkan atau mentransformasikan asas dan ketentuan agama tertentu ke dalam ketentuan undang-undang. Misalnya, dalam UU Kesejahteraan Anak disebutkan pengangkatan anak tidak memutuskan nasab (hubungan darah dari orang tuanya).
Ketiga, membiarkan hukum agama tertentu berlaku sebagai hukum positif. Misalnya, ketentuan dalam perbankan syariah (UU No. 21 Tahun 2008), atau pada tingkat lokal ada beragam qanun di Aceh. (Baca juga: Pluralisme Hukum di Aceh).
Bahkan menurut Bagir, positivisasi hukum agama bisa juga terjadi karena putusan hakim. Hakim Bismar Siregar, misalnya, dikenal sebagai hakim yang sering mengutip ajaran-ajaran agama para pihak yang bersengketa, dan memuatnya dalam putusan. []
Sumber: hukumonline