WAKTU akan berlangsung pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, muncullah dua pasangan cagub. Satu muslim yang dikenal taat, dan satunya non muslim (Basuki cahaya purnama alias Ahok) dan telah berkasus menista agama Islam serta memiliki seabrek perangai buruk.
Waktu itu, kaum muslim di Jakarta dihadapkan pada dua pilihan sulit. Antara ikut memberikan suara mereka untuk memilih pasangan cagub yang muslim -yang berkonsekwensi masuk pemilu-, dan tidak tidak ikut memilih yang berarti membiarkan atau minimal mempermudah cagub non muslim untuk naik kursi.
Pilihan kedua jelas menabrak syariat yang tidak diperkenankan non muslim untuk memimpin kaum muslimin. Ini sesuatu yang telah diketahui.
BACA JUGA: Perbedaan antara Hukum dan Fatwa
Pilihan pertama, walaupun ada mudhorotnya, namun lebih ringan daripada pilihan kedua. Sehingga sebagian atau bahkan mayoritas umat Islam berusaha untuk mobilisasi massa dalam ranga memberikan suaranya kepada paslon muslim.
Sebagian dai dan para ustadz juga berjuang mati-matian untuk meraih kemenangan paslon muslim dengan berbagai daya dan upaya yang mungkin mereka lalukan.
Yang aneh, saat itu ada sebagian pihak yang membombardir muslimin waktu itu dengan fatwa-fatwa ulama yang mengharamkan pemilu dan demokrasi.
Ini kesalahan fatal. Karena hukum demokrasi, telah jelas dilarang dalam agama kita. Namun saat itu, yang dibutuhkan fatwa tentang pemilu yang akan berlangsung di Jakarta dengan kondisi yang telah disebutkan.Bukan hukum pemilu yang rame-rame dishare.
Ibarat ada seorang wanita yang akan melahirkan dengan operasi. Akan tetapi tidak didapatkan dokter perempuan yang menangganinya. Maka muncullah pernyataan konyol dari si anu : “jangan mau dioperasi oleh dokter laki-laki. Hukumnya haram laki-laki menyentuh dan melihat aurat wanita yang bukan mahramnya.”
Hai mas, saat seperti itu bukan hukum yang dibutuhkan, tapi fatwa. Memang benar, kalau laki-laki dilarang menyentuh dan melihat wanita yang bukan mahramnya, ini namanya hukum. Namun dalam kondisi, waktu, tempat dan orang tertentu bisa dibolehkan dengan mempertimbangkan empat hal ini.
Kalau si mas ini ngeyel sampai akhirnya si bayi atau si ibu celaka atau bahkan meninggal, siapa yang disalahkan atau bertanggung jawab ? Tentu si anu tadi.
Memberikan suara dalam pemilu, pada asalnya dilarang. Ini namanya hukum. Namun pada waktu tertentu, kaum tertentu, tempat tertentu serta kondisi tertentu bisa menjadi boleh.
Contohnya dalam pilkada DKI kemarin. Dalam rangka menerapkan kaidah:
إرتكاب أخف الضررين
“Melakukan mudhorot yang paling ringan dari dua mudhorot yang ada.”
Terpilihnya pemimpin non muslim sebuah mudhorot. Kaum muslim ikut memberikan suaranya dalam pesta demokrasi juga mudhorot. Namun mudhorot kedua lebih ringan dari yang pertama.
Oleh karena itu, ditinjau dari hal ini semua, fatwa asy syaikh Sulaiman Ar Ruhaili yang membolehkan waktu lebih dekat dengan kebenaran.
BACA JUGA: Kebaikan dan Dosa, Mintalah Fatwa pada Hatimu
Saat ulama’ membolehkan untuk memberikan suara dalam pemilu dalam kondisi-kondisi tertentu, tidaklah hal itu melazimkan bahwa beliau menghalalkan demokrasi atau pemilu secara umum. Semoga bisa dipahami dan tidak gagal paham.
Dari yang paling lucu dari semua itu, ada sebagian dai yang begitu ngotot mengaharamkan secara mutlak untuk memberikan suara dalam pilkada DKI kemarin, tapi saat pak Anis Baswedan terpilih, mereka bilang : “Alhamdulillah! Pak Anis terpilih.” Memang yang milih siapa mas ustadz ? Kan seluruh muslimin DKI anda larang untuk ikut pemilu secara mutlak ? Jin barangkali.
Dalil itu ibarat senjata. Secanggih apapun sebuah senjata, akan tergantung orang yang menggunakannya. Jangan sampai kita mau mencangkul ke ladang, yang kita bawa pisau dapur. []
Facebook: Abdullah Aljirani