TERKADANG muncul dalam persepsi bahwa orang yang istiqamah adalah orang yang konsisten dalam kebenaran dan tidak pernah sekalipun terjerumus dalam lubang kenistaan.
Padahal sesungguhnya manusia tetaplah manusia, kendatipun berusaha selalu takwa, ia pasti pernah berbuat kekeliruan ataupun kesalahan.
Oleh karenanya, untuk menyelesaikan masalah ini, dalam salah satu ayat-Nya di dalam Al-qur’an, Allah SWT menggandeng antara istiqamah dengan istighfar kepada Allah SWT, yaitu sebagaimana yang terdapat dalam (QS. Fushilat: 41: 6).
BACA JUGA: Istighfarnya Nabi Ibrahim yang Istimewa
“Katakanlah: Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Allah SWT adalah Allah SWT Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya. Serta kecelakaan yang yang besarlah bagi orang-orang yang mempersatukan (Nya).”
Ayat di atas menggambarkan, bahwa setiap insan pasti pernah melakukan satu kelalaian atau kesalahan, tanpa terkecuali siapapun dia.
Oleh karenanya, seorang muslim yang baik adalah yang senantiasa introspeksi diri terhadap segala kekurangan dan kesalahan-kesalahannya, untuk kemudian berusaha memperbaikinya dengan terlebih dahulu beristighfar dan bertaubat memohon ampunan kepada Allah SWT.
Terlebih ketika mengarungi jalan dakwah yang penuh lubang dan duri, serta masafah (baca; jarak tempuh) yang seolah bagaikan tautan tiada bertepi. Di sana manusia-manusia yang beragam asal-usulnya, berbeda latar belakangnya; baik dalam keilmuan, pengalaman, cara pandang dan lain sebaganya.
Tentulah hal ini memerlukan keistiqamahan dalam mengarunginya. Karena benturan, perbedaan ataupun kesilapan diantara sesama sktivis dakwah pasti terjadi.
BACA JUGA: Bagaimana Cara Istighfarnya Rasulullah?
Mustahil jika manusia sebanyak itu tidak pernah saling salah paham. Sedangkan suami istri yang telah diikat dengan kalimatullah, hidup bersama siang dan malam, pagi dan sore, masih memiliki perbedaan-perbedaan yang sulit dihindarkan. Apa lagi bagi sebuah kelompok besar yang masing-masing memiliki interest tersendiri.
Namun yang lebih penting adalah, pasca kesalahan tersebut, apa yang ia perbuat kemudian? Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Semua anak cucu Adam as berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah, adalah mereka-mereka yang bertaubat,” (HR. Tirmidzi).
Para ulama mengemukakan bahwa proses perbaikan diri dari kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat, adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari istiqamah itu sendiri. (Al-Bugha, 1933: 175). []
Dikutip dari Majalah Saksi | Karya: Mashadi