RASULULLAH ﷺ bersabda, “Sesungguhnya halal itu jelas dan haram itu juga jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat, yang mana kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa melindungi dirinya dari segala yang syubhat, berarti ia telah membebaskan agama dan harga dirinya darinya, dan siapa saja yang terperosok ke dalam perkara-perkara syubhat maka ia telah terperosok ke dalam perkara haram.
Seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan binatang ternaknya di dekat daerah terlarang, maka hampir-hampir saja ia menggembalakan ternaknya di daerah terlarang itu, dan bahwasanya semua raja mempunyai hima (daerah terlarang).
Ketahuilah bahwa hima Allah SWT adalah segala perkara yang diharamkan oleh Nya, ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik, baiklah seluruh jasad itu dan jika ia rusak, rusaklah semuanya, ingatlah bahwa segumpal daging itu adalah hati,” (HR. Bukhori dan Muslim).
BACA JUGA: Halal-Haram; Cara Islam Menjaga Keselamatan Manusia
Hadits diatas secara garis besar menjelaskan beberapa hal, yaitu
1. Sesuatu yang benar-benar halal masalahnya sudah jelas. Seperti, mengonsumsi segala hal yang baik, meminum air putih dan lain sebagainya.
2. Segala hal yang benar-benar haram, masalahnya juga sudah jelas. Sebab dalil-dalilnya sudah jelas pula
3. Dalam pandangan manusia ada hal-hal yang masih samar dan belum jelas sisi halal haramnya hal itu karena:
a. Tingkat kejelasan suatu masalah memang berbeda-beda, ada yang sangat jelas sekali, sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak mengetahuinya.
Para ulama menyebut hal-hal seperti ini dengan istilah ma’lum min al-din bi al-dharurah (ajaran agama yang sudah pasti dan menjadi kemestian untuk diketahui), misalnya kewajiban shalat, larangan membunuh tanpa hak, makan harta orang lain tanpa hak dan lain sebagainya.
b. Tingkat ilmu yang dimiliki seseorang. Semakin mendalam ilmu seseorang, hal-hal yang tersamar semakin sedikit, dan semakin tipis ilmu seseorang, maka hal-hal yang tersamar semakin banyak.
Inilah maksud dari sabda Rasulullah ﷺ, “La ya’lamuhunna katsirun min al-nas (tidak diketahui oleh kebanyakan manusia).
Terkait hal ini manusia bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:
• Ulama (orang-orang yang berilmu), yaitu mereka yang memiliki kemampuan untuk mencari dalil, mengukur tingkat keshahihan dalil-dalil yang dimilikinya serta memahami dan berijtihad langsung dari dalil-dalil tersebut.
Bagi mereka, yang menghadapi hal-hal syubhat, diharuskan berijtihad dan memperjelas duduk perkara hal-hal yang subhat ini, lalu menjadikannya sebagai pijakan dan pegangan untuk dirinya dan untuk orang lain.
• Thalabatul Ilmi (Para pencari ilmu), yaitu mereka yang belum memiliki kemampuan sebagai ulama. Mereka berkewajiban untuk memecahkan dan menjernihkan hal-hal yang subhat berdasarkan dalil yang dimilikinya, hanya saja mereka harus mengkomparasikan pemahamannya dengan ijtihad para ulama.
Karena inilah Umar bin Al Khattab ra berkata kepada para gubernurnya, “Dan jika kalian mengkomunikasikan dan mengkonsultasikan masalah-masalah yang kalian hadapi itu lebih aku senangi.”
BACA JUGA: Jual Beli yang Halal Lebih Sulit daripada Bertempur di Medan Perang
• Awam (manusia kebanyakan), yaitu mereka yang bukan thalabul ilmi, dan bukan pula ulama. Kewajiban mereka adalah bertanya dan berkomunikasi dengan para ulama, atau minimal kepada thalabatil ‘ilmi, sebagaimana tersebut dalam (QS 16:43, QS 21:7).
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya halal itu jelas dan haram itu juga jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat, yang mana kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa melindungi dirinya dari segala yang syubhat, berarti ia telah membebaskan agama dan harga dirinya darinya, dan siapa saja yang terperosok ke dalam perkara-perkara syubhat maka ia telah terperosok ke dalam perkara haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan binatang ternaknya di dekat daerah terlarang.
Maka hampir-hampir saja ia menggembalakan ternaknya di daerah terlarang itu, dan bahwasanya semua raja mempunyai hima (daerah terlarang), ketahuilah bahwa hima Allah SWT adalah segala perkara yang diharamkan oleh Nya, ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik, baiklah seluruh jasad itu dan jika ia rusak, rusaklah semuanya, ingatlah bahwa segumpal daging itu adalah hati,” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits diatas secara garis besar menjelaskan beberapa hal, yaitu:
4. Sikap manusia terhadap perkara-perkara yang masih syubhat (belum jelas duduk permasalahannya):
a. Ittiqa’ al-syubuhat (menjaga dan membentengi diri dari perkara-perkara yang masih syubhat). Jika hal ini dilakukan, maka ia telah meraih sebuah keuntungan besar yaitu: agama dan harga dirinya menjadi bersih. Dengan kata lain, citra diri dan agamanya menjadi cemerlang
b. La yar’a haula al-hima (tidak bermain dilokasi yang dekat dengan syubhat). Ibaratnya adalah menggembala kambing berdekatan dengan daerah terlarang, sangat mungkin sekali kambing itu nyelonong dan masuk ke wilayah terlarang itu.
c. Saddu madakhil al-Syaithan (menutup pintu dan celah-celah masuk syetan). Terkadang seseorang berada pada suatu posisi yang bisa disalahfahami oleh orang lain yang melihatnya. Posisi-posisi seperti ini oleh para ulama disebut mawaqi’ atau mawathin al-syubuhat.
Jika hal ini terjadi, maka, seseorang tersebut perlu mendudukan permasalahan dan posisinya, serta segera memberikan bayan (penjelasan klarifikasi) dan semacamnya secara langsung kepada siapa saja yang melihatnya.
Jangan sekali-kali menunda bayan tersebut, agar tidak ada celah atau pintu bagi syetan untuk memunculkan hal-hal yang merusak citra diri dan agamanya.
BACA JUGA: Pentingnya Halal dan Haram bagi Seorang Muslim
Pada suatu kali, Rasulullah ﷺ sedang beri’tikaf di masjid. Sehabis shalat Isya, salah seorang istri beliau, yaitu ummul Mukminin Shafiyyah RA berkunjung dan menemui beliau di dalam masjid.
Saat Ummul Mukminin hendak pulang, Rasulullah mengantarnya sampai di pintu masjid. Di tengah suasana yang mulai gelap tersebut, ternyata ada dua orang pemuda yang melihat Rasulullah ﷺ mengantar Ummul Mukminin ini.
Dan begitu keduanya mengetahui bahwa yang “berduaan” adalah Rasulullah ﷺ dan salah seorang istrinya, dua orang pemuda itu bersegera hendak pergi.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, “Jangan pergi dulu.” Lalu beliau menjelaskan bahwa yang diantarnya itu adalah istrinya. Mendengar penjelasan seperti ini, dua orang pemuda itu berkata, “Subhanallah, kami tidak mempunyai prasangka apa-apa.”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Saya khawatir, syetan akan memasukan sesuatu kedalam hati kalian , sebab syetan itu mengalir dalam diri manusia sebagaimana aliran darah.” (HR. Bukhari)
BACA JUGA: Manfaat Makanan Halal dan Cara Mengeceknya
d. Mudawamah tazkiyat al-nafsi (senantiasa membersihkan dan mensucikan hati) dalam hal ini kebersihan dan kesucian hati memegang peranan yang sangat penting.
Jika seseorang senantiasa berusaha membersihkan hati dari berbagai penyakit hati, maka ia akan mudah menerima dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam hadits diatas.
Akan tetapi jika hati seseorang kotor karena lemahnya iman, maka dengan mudah ia akan mendekati hal-hal yang syubhat. Wallahu’alam. []
SUMBER: UMMI ONLINE