ORANG yang mempunyai sifat khauf lebih suka melarikan diri atau menahan diri, sedangkan orang yang memiliki sifat khasyyah lebih suka berlindung kepada ilmu. Perumpamaan di antara keduanya seperti orang yang sama sekali tidak mengerti ilmu kedokteran dan seorang dokter yang handal.
Orang yang pertama mengandalkan pertahanan dan upaya melarikan diri, sedangkan orang yang kedua mengandalkan ilmu dan pengetahuannya tentang penyakit dan obat.
Abu Hafsh berkata, “Khauf merupakan cemeti Allah untuk menggiring orang-orang yang meninggalkan pintu-Nya. Khauf juga merupakan pelita di dalam hati, yang dengannya dia bisa melihat kebaikan dan keburukan.
BACA JUGA: Hanya kepada Allah Kita Bersandar
Setiap orang yang engkau takuti, tentu engkau hindari, kecuali Allah Azza wa jalla. Orang yang takut, lari dari Rabb-nya namun juga menuju Rabb-nya.”
Khauf bukan merupakan sasaran inti, tetapi merupakan sasaran bagi selainnya, karena ia hanya merupakan sasaran perantara. Maka khauf akan hilang jika apa yang ditakuti juga tidak ada. Karena itu para penghuni surga tidak lagi takut dan bersedih hati.
Khauf berhubungan dengan perbuatan, dan cinta berhubungan dengan dzat serta sifat. Karena itu cinta orang-orang Mukmin kepada Rabb semakfn berlipat ganda jika mereka sudah masuk surga dan mereka tidak lagi merasa takut.
Sehingga kedudukan cinta lebih tinggi daripada kedudukan khauf. Khauf yang terpuji dan benar ialah yang menjadi penghalang antara pelakunya dan hal-hal yang diharamkan Allah.
Jika hal ini dilanggar, maka rasa putus asa membuatnya merasa takut. Abu Utsman berkata, “Khauf yang benar ialah menghindari dosa secara lahir dan batin.”
Ibnu Qayyim pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Khauf yang terpuji ialah yang menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah.”
Abu Ismail (pengarang kitab Manazilus-Sa’iriri) menjelaskan, bahwa khaufaitinya tidak merasa tenang dan aman karena mendengar suatu pengabaran. Dengan kata lain tidak merasa aman karena mengetahui apa yang dikabarkan Allah, baik yang berupa janji maupun ancaman. Menurutnya, ada tiga derajat khauf.
1. Khauf terhadap hukuman, yaitu khauf yang ditunjang iman hingga menjadi benar. Ini khauf-nya orang-orang awam. Khauf ini muncul karena mempercayai ancaman, ingat kesalahan diri sendiri dan memperkirakan akibat.
Khauf didahului dengan perasaan dan ilmu. Mustahil seseorang takut jika dia tidak merasakannya. Ada dua kaitan dengan hal ini: Dengan sesuatu yang tidak disukainya, yang dikhawatirkan akan terjadi, dan dengan sebab yang mengarah ke sesuatu yang ditakuti itu.
Sejauh mana seseorang merasakan suatu sebab dapat menjurus ke sesuatu yang ditakuti, maka sejauh itu pula ketakutannya.
Siapa yang tidak percaya bahwa suatu sebab dapat menjurus ke sesuatu yang tidak disukainya, maka dia tidak akan takut, dan siapa yang percaya bahwa sebab itu menjurus kepada sesuatu yang tidak disukainya, namun dia tidak mengetahui gambaraannya secara pasti, maka dia tidak takut seperti ketakutan yang pertama.
Jika dia tahu gambarannya, maka muncullah ketakutan itu. Inilah makna munculnya pembenaran ancaman, mengingat kesalahan dan memperkirakan akibat.
BACA JUGA: Adakah Hubungan Tertawa dan Kebahagiaan?
2. Khauf terhadap tipu daya selagi dia dalam keadaan sadar dan yang bisamengganggu kesenangan hatinya.
Dengan kata lain, siapa yang dalam keadaan sadar dan tidak lalai serta hidup secara normal, tentu akan merasakan kesenangan. Sebab tidak ada yang lebih menyenangkan selain dalam keadaan sadar. Jika dia dalam keadaan sadar, berarti dia harus merasa takut terhadap tipu daya atau jika kesadaran dan kesenangan itu terampas.
3. Ini merupakan khauf-nya orang-orang khusus, yang praktis tidak lagi mempunyai khauf selain dari haibah karena pengagungan. Ini merupakan derajat paling tinggi dalam khauf.
Bayang-bayang khauf muncul jika ada pemutusan dan hambatan hubungan. Sementara orang-orang yang khusus ini adalah mereka yang sudah sampai dan dekat dengan Allah.
Jadi khauf mereka bukan khauf yang senantiasa membayang-bayangi, seperti rasa takutnya orang-orang yang berbuat salah. Sebab Allah senantiasa bersama mereka, menerima mereka dan mencintai mereka.
Dalam perjalanannya kepada Allah, hati itu diibaratkan seekor burung. Cinta merupakan kepalanya, rasa takut dan berharap merupakan dua buah sayapnya. Selagi kepala dan dua sayap normal, maka burung itu bisa terbang dengan baik.
BACA JUGA: Musibah dan Muhasabah
Jika kepala terputus, maka ia akan mati. Jika dua sayap tidak ada, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi orang-orang salaf lebih suka memperhatikan kesehatan sayap rasa takut daripada sayap harapan. Tapi saat keluar dari dunia mereka lebih memprioritaskan sayap harapan daripada sayap rasa takut.
Ini juga merupakan pendapat Abu Ismail (pengarang kitab Manazilus-Sa’iriri). Dia berkata, “Rasa takut harus lebih menguasai hati. Jika harapan yang lebih menguasainya, maka ia akan rusak.”
Yang lain berkata, “Yang paling sempurna adalah menyelaraskan harapan dan rasa takut serta memperbanyak cinta. Sebab cinta itu ibarat kendaraan, harapan ibarat dorongan, rasa takut ibarat sopir dan Allahlah yang menghantarkan ke tujuan dengan karunia-Nya.” []
Referensi: E-book Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah)/Ibnu Qayyim Al-Jauziyah/Pustaka Al-Kautsar/1999