KETIKA kaum Yahudi berada di padang pasir dalam perjalanan melarikan diri dari Mesir atau ketika terkurung di gurun Sinai selama 40 tahun, mereka merasa sangat berat merasakan teriknya panas matahari. Mereka mengadu kepada Nabi Musa. Setelah Nabi Musa berdoa, Allah SWT melindungi mereka dengan awan.
Kemudian, ketika Bani Israil kesulitan makanan, mereka mengadu lagi kepada Nabi Musa. Nabi Musa berdoa lagi kepada Allah, maka Allah mengirimkan makanan yang disebut ‘manna’ dan ‘salwa.’ Menurut Ash-Shabuni dalam Shafwah at-Tafsir, manna adalah sejenis madu yang dijadikan minuman setelah dicampur air. (Shafwah at-Tafsir I: 60). Menurut Quraish Shihab, manna adalah butiran-butiran berwarna merah yang terhimpun pada dedaunan, yang biasanya turun saat fajar menjelang terbitnya matahari.
BACA JUGA: Begini Cara Nabi Musa Mengatasi 3 Ketakutannya
Menurut Thahir bin Asyur, yang dikutip Quraish Shihab, manna adalah satu bahan semacam lem dari udara yang hinggap di dedaunan mirip dengan gandum yang basah. Rasanya manis bercampur asam, berwarna kekuningan. Banyak ditemukan di wilayah Turkishtan dan beberapa tempat lain. Ia baru ditemukan di Sinai sejak Bani Israil tersesat di sana (Tafsir Al-Misbah, I: hlm. 196)
Sedangkan salwa, menurut Ash-Shabuni, adalah sejenis burung mirip as-samani yang lezat dagingnya (Shafwat at-Tafsir, I: hlm. 60). Menurut Quraish Shihab, salwa adalah sejenis burung puyuh yang datang berbondong-bondong, yang berhijrah dari satu tempat, yang dengan mudah ditangkap untuk disembelih dan dimakan. Burung itu mati apabila mendengar suara guntur, karena itu mereka berhijrah mencari daerah-daerah bebas hujan (Tafsir al-Misbah, I: hlm 196).
Allah menyuruh mereka memakan makanan yang baik-baik dari rezeki yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, dan mengingatkan mereka untuk tidak lagi berbuat dlalim. Setiap makanan yang dikonsumsi, disamping halal harus memenuhi kriteria baik (thayyibah), sebagaimana firman Allah berikut.
وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَـٰلاً۬ طَيِّبً۬اۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ -٨٨-
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya,” (QS. al-Maidah: 88)
Baik buruknya suatu makanan (dan minuman) ditentukan oleh hiegenisnya makanan tersebut. Selain itu, kesesuaian dengan keadaan fisik orang yang memakannya. Dalam konteks manna dan salwa, Allah telah menegaskan bahwa kedua jenis makanan itu termasuk dalam kategori thayyibat.
BACA JUGA: Bisa Membelah Lautan, Dimana Kini Tongkat Nabi Musa Berada?
Apakah Bani Israil puas dan kemudian mensyukuri nikmat itu? Rupanya tidak. Mereka tidak bersyukur dan tetap membangkang terhadap Nabi Musa. Pada ayat 61 surat al-Baqarah, dinyatakan bahwa mereka merasa bosan dengan makanan manna dan salwa. Mereka meminta yang lain berupa sayuran, ketimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah yang bisa dikonsumsi sewaktu mereka berada di Mesir.
وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَـٰمُوسَىٰ لَن نَّصۡبِرَ عَلَىٰ طَعَامٍ۬ وَٲحِدٍ۬ فَٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ يُخۡرِجۡ لَنَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ مِنۢ بَقۡلِهَا وَقِثَّآٮِٕهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِہَا وَبَصَلِهَاۖ
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, mami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah”. (QS Al-Baqarah/2: 61). []
SUMBER: TUNTUNAN ISLAM