PENDAPAT syadz, atau bisa diterjemahkan sebagai “pendapat nyeleneh”, itu pendapat yang:
1. Bertentangan dengan nash yang shahih sekaligus sharih.
Shahih artinya secara sanad dan matan, ia selamat dari hal-hal yang menyebabkannya tidak bisa menjadi hujjah, seperti kesinambungan sanadnya terputus, di antara rawi ada yang tertuduh suka berdusta, ada idhthirab dalam sanad atau matannya, ada rawi yang buruk hafalannya sehingga riwayatnya sulit dipercaya, dll.
Sharih itu, artinya nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang membahas perkara tersebut, menunjukkan makna yang pasti, tidak multi interpretasi, tidak mungkin dipahami berbeda, tidak membuka ruang untuk takhshish, taqyid, dll. Ini ranahnya ushul fiqih.
BACA JUGA:Â Pendapat yang Rajih Namun Tidak Difatwakan
2. Bertentangan dengan ijma’ ulama.
Mayoritas ulama menyatakan, jika di suatu masa seluruh ulama sepakat atas hukum satu perkara, maka ulama generasi berikutnya tidak boleh menyampaikan pendapat berbeda.
Kesepakatan ulama di suatu masa ini, disebut ijma’, dan ia menjadi dalil dan hujjah yang kuat dalam fiqih.
Masalah ijma’ ini masalah yang sangat luas dan rinci, serta memuat hal-hal yang debatable. Tapi bagi kalangan awam, apa yang saya sampaikan di paragraf sebelumnya sudah cukup.
BACA JUGA:Â Klasifikasi Niat Puasa Menurut Pendapat Ulama
Pendapat syadz itu tidak diterima (tidak mu’tabar) dan tidak boleh diikuti. Yang mengikuti pendapat tersebut, padahal ia tahu itu pendapat syadz, ia telah jatuh pada perbuatan dosa. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara