SIAPA yang tak Kenal Kisah Nabi Adam AS dan Istrinya Hawa, Nabi Adam dikeluarkan dari surga oleh Allah SWT karena telah melanggar perintah dengan memakan buah terlarang.
Beberapa pendapat menyebut jika Hawa, istri Nabi Adam AS, adalah penyebab dikeluarkannya mereka dari surga Allah. Hawa disebut memengaruhi Nabi Adam agar memakan buah terlarang.
Pendapat ini dijadikan sebuah hujah jika Hawa adalah penyebab manusia harus diturunkan ke bumi dan tidak merasakan nikmatnya surga. Kaidah tersebut juga dipakai untuk merendahkan wanita dibanding lelaki. Benarkah pandangan tersebut?
Syekh Yusuf Qaradhawi pernah membahas khusus soal hubungan Adam dan Hawa serta kaitannya dengan diturunkannya mereka dari surga.
Syekh Qaradhawi mengatakan, pendapat bahwa Hawa yang dituding sebagai penyebab Nabi Adam diusir adalah pendapat tidak Islami. Menurut Syekh Qaradhwi, sumber pendapat ini ialah kitab Taurat dengan segala tambahannya.
Syekh Qaradhawi menerangkan, dalam Alquran jelas disebutkan jika bukan seperti itu kisah dan penekanan yang diambil.
Pertama, perintah Ilahi untuk tidak memakan buah terlarang ditujukan kepada Adam dan Hawa (bukan Adam saja). Allah berfirman, “Dan Kami berfirman, ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim.'” (QS al-Baqarah [2]: 35).
Kedua, yang mendorong keduanya dan menyesatkan keduanya dengan tipu daya, bujuk rayu, dan sumpah palsu ialah setan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah, “Lalu, keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula ….” (QS al-Baqarah [2]: 36).
Ketiga, Alquran telah menegaskan Nabi Adam AS diciptakan oleh Allah untuk suatu tugas yang sudah ditentukan sebelum diciptakannya. Yakni, untuk mengurus bumi. Para malaikat pada waktu itu sangat ingin mengetahui tugas tersebut, bahkan mereka mengira bahwa mereka lebih layak mengemban itu daripada Adam.
Hal ini telah disebutkan dalam beberapa ayat surah al-Baqarah yang disebutkan Allah SWT sebelum menyebutkan ayat-ayat yang membicarakan bertempat tinggalnya Adam dalam syurga dan memakan buah terlarang.
Firman Allah, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan befirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Keempat, surga tempat Nabi Adam AS diperintahkan untuk berdiam di dalamnya dan memakan buah-buahannya, kecuali satu pohon, tidak dapat dipastikan bahwa surga tersebut adalah surga yang disediakan Allah untuk orang-orang muttaqin di akhirat kelak.
Surga yang dimaksud belum tentu surga yang di dalamnya Allah menciptakan sesuatu (kenikmatan-kenikmatan) yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan tidak seperti yang terlintas dalam hati manusia.
Para ulama berbeda pendapat mengenai “surga” Adam ini, apakah merupakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang mukmin sebagai pahala mereka ataukah sebuah jannah (taman/kebun) dari kebun-kebun dunia, seperti firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun (jannah) ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya pada pagi hari.” (QS al-Qalam [68]: 17).
Dalam surah lain Allah berfirman, “Dan, berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun (jannatain) anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.” (QS al-Kahfi [18]: 32-33).
Ibnul Qayyim menyebutkan kedua pendapat tersebut dengan dalilnya masing-masing dalam kitabnya, Miftahu Daaris Sa’adah. Allahu a’lam.[]
Sumber:Khazanah Republika