TANYA:
Akhir-akhir ini saya sering melihat perdebatan warganet di media sosial tentang hukum memasuki gereja atau tempat peribadatan non muslim lainnya. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada juga yang dengan tegas mengharamkannya. Sebenarnya apa pandangan para ulama atas hal ini?
Jawab:
Sebagian ulama melarang secara mutlak memasuki gereja. Mereka berdalil dengan firman Allah, yang artinya,
BACA JUGA: Hubungan Fikih dan Akidah Islami
لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah: 108)
Sekembalinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Tabuk, orang-orang munafik semakin pupus harapan untuk bisa mengalahkan kaum muslimin. Akhirnya mereka mendirikan sebuah masjid dalam rangka memecah belah barisan kaum muslimin. Masjid ini dikenal dengan masjid dhirar. Ayat ini turun sebagai larangan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk melaksanakan shalat di masjid tersebut dan diperintahkan agar masjid tersebut dihancurkan. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk masuk dan shalat di masjid dhirar, yang dibangun untuk tujuan makar dalam rangka merusak barisan kaum muslimin, padahal itu berupa masjid maka lebih terlarang lagi jika itu adalah gereja. Sementara Gereja itu murni dibangun semata-mata untuk maksiat kepada Allah.
Ulama yang berpendapat ini memberikan pengecualian untuk bisa masuk gereja jika terpenuhi beberapa syarat:
– Adanya maslahat bagi agama Islam, misalnya dalam rangka berdakwah atau berdebat dengan orang Nasrani agar mereka masuk Islam.
BACA JUGA: 8 Tips Agar Menuntut Ilmu Menjadi Mudah
– Tidak menimbulkan perbuatan haram, misalnya basa-basi dalam kemaksiatan mereka.
– Berani menampakkan jati diri keislamannya di hadapan orang kafir.
– Tidak menyebabkan orang awam tertipu karena mengira bahwa dirinya setuju dengan agama orang Nasrani.
(Fatwa Lajnah Daimah, 2:339 dan Fatwa Syaikh Dr. Nashir bin Sulaiman di Majalah Ad Da’wah edisi 1930, Dzulhijjah 1424 H). []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH