BERMAKSIAT bukan hanya dilakukan oleh kaum muda yang kebanyakan terjadi sekarang ini. Tapi, yang sudah berumah tangga sekali pun juga masih ada yang melakukannya. Bagaimana bila hal itu menimpa orang tua kita? Apa yang harus kita lakukan?
Bagaimanapun ketika orang tua berbuat pelanggaran syariat, anak tidak boleh berdiam diri. Ia berkewajiban merubahnya, supaya orang yang ia kasihi tersebut tidak terjerumus dalam kenistaan di jurang maksiat kepada Allah Azza wa Jalla. Namun tidak boleh menempuh cara-cara yang justru langsung memutus tali silaturahmi dengan mereka.
Allah Azza wa Jalla sudah menyatakan bahwa Nabi Ibrahim merupakan qudwah hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia. Salah satunya, dalam kegelisahan beliau yang sangat dalam karena sang bapak Azar, masih bergelut dengan penyembahan berhala dan patung-patung. Tiada kata putus asa bagi Nabi Ibrahim alaihissallam. Al-Quran telah menceritakan di beberapa surat bagaimana besarnya sopan-santun dan kegigihan beliau mendakwahi orang tua.
Yang menarik dan mesti ditiru oleh anak-anak saat menghadapi perbuatan maksiat orang tua mereka adalah tauladan dari Nabi Ibrahim alaihissallam selalu menghiasi diri dengan sifat al-hilm (bijak dan penuh kelembutan) seperti tertera dalam surat at-Taubah (9:114). Allah Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”
Beliau mempunyai kasih-sayang terhadap sesama, dan memaafkan perlakuan-perlakuan tidak baik kepadanya yang muncul dari orang-orang lain. Sikap tidak sopan orang lain tidak membuat beliau antipati, tidak menyikapi orang jahat dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, sang bapak telah mengancam dengan berkata kepadanya, “Bencikah kamu kepada ilah-ilahku, hai Ibrahim. Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” Namun Nabi Ibrahim alaihissallam menyikapinya dengan berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku,” (Maryam/19: 46-47).
Bentuk bakti kepada orang tua yang lain, dengan melayani mereka dalam menyelesaikan atau membantu urusan maupun pekerjaan mereka. Namun bila meminta tolong dalam perkara yang diharamkan, saat itu tidak boleh bagi anak untuk menyambut permintaan mereka. Justru, penolakannya menjadi cermin bakti anak kepada orang tua, berdasarkan sabda Rosulullah, “Tolonglah saudaramu saat berbuat zhalim atau teraniaya. Rosulullah ditanya, ‘Wahai Rosulullah, kalau menolong orang yang teraniaya kami sudah mengerti, bagaimana dengan menolong saudara yang berbuat zhalim?’ Beliau menjawab, ‘Dengan menghalang-halanginya berbuat zhalim’,” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Misalnya, orang tua memerintahkan membeli sesuatu yang diharamkan, kemudian si anak menolaknya. Anak ini tidak disebut sebagai anak durhaka, akan tetapi merupakan putra yang berbakti kepada orang tuanya, karena telah menahan orang tuanya dari berbuat yang haram. []