CAHAYA lampu minyak tampak temaram menerangi sebuah ruangan sederhana yang sedang diselimuti kegelapan. Diantara temaram cahayanya, tampak sesosok pria yang terlihat sibuk menyelesaikan urusannya. Tak lama, terdengar ketukan di pintu ruangan tersebut.
“Masuk…” pria tersebut mempersilahkan. Lalu terlihat sesosok wajah yang menghampiri pria itu. Dia ternyata anak pria tersebut.
Segera, pria tersebut menghentikan pekerjaannya dan berkata, “Apa yang mau kau bicarakan, nak? Mengenai urusan pribadi ataukah kenegaraan?”
Suaranya terdengar begitu arif dan penuh kasih sayang.
“Ini mengenai urusan pribadi, ayah..”. Maka, segera pria tersebut meniup lampu minyak yang menyala hingga kegelapan sempurna meliputi ruangan tersebut.
“Mengapa dimatikan ayah..?”, tanya anak pria tersebut penuh keheranan.
“Anakku.. karena yang akan kau bicarakan adalah mengenai urusan pribadi, maka tak layak jika sekiranya kita menggunakan penerangan yang berasal dari uang negara..”, tutur pria tersebut penuh dengan kebijaksanaan diwajahnya.
Subhhanallah wabihamdih… MasyaAllah…
Yah, begitulah sejarah mencatat dengan tinta emasnya, sepenggal episode mengenai sesosok pemimpin agung dunia, Harun Al Rasyid. Siapa yang tidak mengenalnya? Sesosok pria yang pernah memimpin kekhilafahan Islam (Saat Bani Abbasiyah memerintah) dalam tempo yang begitu singkat, sekitar dua tahun, namun progresnya begitu pesat, bahkan teramat pesat kemajuannya.
Pemerintahan yang kacau, dapat dirapikan kembali barisan dan kinerjanya oleh beliau dengan apik dan anggunnya. KKN dibumi hanguskan. Ilmu pengetahuan dan ekspansi keislaman meluas menerangi bumi. Kekayaan didistribusikan secara merata dengan implementasi Ekonomi Islam yang brilian. Subhanallah.
Inilah fakta yang mencengangkan, bahkan sejarah mencatatkan bahwa tak ada satupun rakyat yang dipimpin Harun al Rasyid yang mau menerima zakat. Ada beberapa pendapat mengenai kondisi tersebut, ada yang berpendapat bahwa hal tersebut terjadi karena memang semua rakyatnya sudah makmur secara ekonomi, dan ada lagi yang berpendapat bahwa semua rakyat sudah makmur secara ruhani sehingga mereka malu untuk menerima zakat dan mencukupkan diri dengan apa yang sudah dipunyai. Tapi, menurut saya keduanya merupakan bukti pencapaian yang berhasil dilakukan oleh Harun Al Rasyid.
Logika sederhananya, cukup sulit untuk meningkatkan kesejahteraan ruhani masyarakat dalam tempo masa jabatannya yang sangat singkat, yaitu sekitar 2 tahun. Jauh lebih logis jika kemakmuran terjadi karena distribusi perekonomian memang betul-betul merata, tanpa memusat, dan adil (sesuai kebutuhan, bukan sama rata) hingga masyarakat yang tadinya membutuhkan zakat, menjadi tidak membutuhkan kembali, karena secara otomatis ruhani masyarakat akan terbangun menyaksikan kinerja pemerintahnya yang brilian dalam menyejahterakan diri mereka.
Hal ini berkaitan dengan fakta, bahwa istri dari Harun Al Rasyid merupakan sesosok wanita yang paling mulia pada masanya. Bagaimana tidak, perempuan tersebut merupakan putri dari seorang khalifah, yang paman dan saudaranya juga pernah menjabat sebagai khalifah. Yah, saat tahun-tahun pernikahan mereka dihiasi dengan romantisme yang Islami, begitu berbobot dan bergizi, juga fasilitas istana yang begitu nyaman, namun dalam sekejab ketika Harun Al Rasyid menjadi seorang khalifah maka suaminya tersebut segera mengencangkan ikat pinggangnya dan kehidupan rumah tangganya berubah 180 derajat.
Bagaimana tidak, semua hartanya diserahkan untuk Baitul Mal. Bahkan diceritakan bahwa beliau pernah menanyakan istrinya,”Mau memilih hidup sederhana dengan segala kekurangan dengannya atau dicerai?”. Maka istrinya yang memang sesosok muslimah yang begitu dalam ketaatannya pada Allah SWT dan suaminya, merelakan semua fasilitas yang pernah didapatkannya dulu dan lebih memilih berjuang bersama suaminya. Tak tanggung-tanggung, bukan hanya harta benda rumah tangganya yang diserahkan untuk Baitul Mal, tapi juga berbagai perhiasan pribadinya yang begitu mahal dan berharga, sampai perhiasan warisan paling berharga yang dimilikinya pun direlakannya. MasyaAllah.. Subhanallah wabihamdih…!
Cerita tersebut hanyalah pembuka, sebagai pelembut hati bagi para pembaca yang peka hatinya dan tajam akalnya. Dari seorang Harun al Rasyid, sesosok pemimpin luar biasa yang dapat kita jadikan teladan. Dari kisahnya, kita menjadi tahu bahwa betapa dalamnya leadership yang dimiliki beliau, betapa tajam akalnya dan cemerlang kebijakannya, dan yang terpenting, betapa tebalnya keimanannya kepada Allah SWT. Subhanallah.
Dari kisah teladan Harun al Rasyid diatas ada beberapa yang dapat kita ambil pelajaran. Pertama, Setiap kita adalah pemimpin. Teori sapu jagad klasik yang sudah diungkapkan oleh Rasulullah SAW sekitar 14 abad silam dan baru dikemukakan kembali oleh pemikir modern beberapa tahun belakangan. Mari kita buka Al Baqarah ayat 30. Subhanallah, betapa mulianya derajat kita, manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi-Nya.
Ini bermakna jamak. Khalifah untuk diri kita sendiri, mengelola dan memanfaatkan raga,akal, dan fasilitas dengan maksimal untuk meraih tujuan hidup kita, yaitu beribadah pada-Nya semata. Diatasnya, ada khalifah untuk keluarga, lingkungan, negara, hingga dunia. Yah, inilah Islam. Islam yang mendunia dan menyeluruh. Bukankah didalam al Qur’an dijelaskan bahwa semesta ini hanya tunduk kepada-Nya, kecuali jin dan manusia yang diberi kebebasan untuk taat atau ingkar kepada-Nya.
Kedua, manusia diciptakan Allah SWT sangat luarbiasa. Tubuh, akal, sumberdaya, bumi,dan semesta ini adalah milik-Nya yang akan memberikan amanahnya kepada manusia. Maka sudah sepatutnya, jika hanya hukum dan peraturan-Nya saja lah yang berhak diberlakukan di muka bumi ini. Hal itu sebagai wujud aksi nyata kita pada ketauhidan pada Allah SWT.
Lihatlah pada surat An Nas dan Al Fatihah, ketauhidan itu meliputi 3 macam tauhid. Pertama, Tauhidd Rububiyah (mentauhidkan-Nya karena Ia adalah Rabb ; Maha Pencipta segala di alam raya dan Maha Pemberi Rezeki akan kebutuhan semua makhluknya). Yang kedua adalah Tauhid Mulkiyah (mentauhidkan-Nya karena Ia adalah Al Malik ; Raja, Pengatur, Penguasa, dan Pembuat Hukum, dan Raja akan semua makhlukNya), dan yang ketiga adalah Tauhid Ilahiyah (mentauhidkan-Nya karena Ia adalah Ilah ; Yang Maha di Sembah.
Setelah kita mengakui bahwa Allah adalah Rabb, Malik, maka kita dapat membuktikan keimanan kita dengan mentauhidkan ke-IlahanNya dan menyembah-Nya). Sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, ibarat sebuah pohon, Aqidah adalah akar, Syariat adalah batang, dan Akhlaq adalah buahnya. Untuk memiliki pohon yang kuat dan berbuah lebat, tentunya pemberian nutrisi pada akar-lah yang paling pertama dilakukan, sehingga otomatis batang dan buahnya pun akan menjadi seperti yang diharapkan.
Sebagai salam perpisahan, dengarkan sedikit puisi ini…
yang dinanti, ia yang begitu mencintai Rabbnya
yang dinanti, ia yang begitu meneladani Rasulnya
yang dinanti, ia yang memimpin dengan cinta
yang dinanti, ia yang mendengarkan dengan nurani
yang dinanti, ia yang lihai mengatur waktunya
yang dinanti, ia yang paling dicintai keluarganya
yang dinanti, ia yang dicintai pekat malam karena ibadahnya
yang dinanti, ia yang dicintai tanah karena kepala yang menangis dalam sujudnya..
memohon kekuatan, perlindungan, keitiqomahan hanya pada Rabbnya
yang dinanti…sosok pemimpin sejati yang ada didalam diri.
Wallahu ‘alam bish shawab. []