APAKAH akal bisa mengetahui hukum Allah, hal yang baik (hasan) dan hal yang buruk (qabih), pada perbuatan mukallaf, tanpa nash Syariah?
Ada tiga pandangan dalam hal ini:
1. Asya’irah, pengikut Abul Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H): Tidak bisa. Hasan dan qabih hanya bisa diketahui melalui nash. Setiap yang diperintahkan Syariat adalah baik, dan setiap yang dilarangnya adalah buruk.
BACA JUGA: Akal dan Kemuliaannya
2. Mu’tazilah, pengikut Wasil bin ‘Atha (w. 131 H) dan ‘Amr bin ‘Ubaid (w. 144 H): Akal bisa mengetahui hukum Allah, tentang mana yang baik dan mana yang buruk, meskipun tanpa wasilah Rasul dan Kitab.
3. Maturidiyyah, pengikut Abu Manshur Al-Maturidi (w. 333 H): Akal bisa mengetahui hukum Allah terkait perbuatan mukallaf, meskipun tanpa ada nash. Namun, hukum Allah tersebut tidak pasti harus selalu sesuai dengan pengetahuan yang didapatkan melalui akal, karena akal mungkin keliru.
(Faidah dari kitab “Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fiqh”, bahasan “Al-Hakim”, karya Syaikh Wahbah Az-Zuhaili)
Catatan:
1. Ini pembahasan Kalam.
2. Salah satu konsekuensi dari bahasan ini adalah, jika belum sampai dakwah Islam pada seseorang, apakah ia tetap terkenal taklif Syariah?
BACA JUGA: Apa Itu Maqashid Syariah?
Asya’irah: Tidak terkena taklif. Tidak ada pahala, tidak ada dosa.
Mu’tazilah: Terkena taklif, dan timbangannya adalah petunjuk yang diraih oleh akal mereka. Ia harus melakukan yang dianggap baik oleh akal, dan meninggalkan yang dianggap buruk oleh akal.
Maturidiyyah: Seseorang tidak dituntut untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu sebelumnya datangnya petunjuk Syariat. Namun mereka menerima bahwa akal yang lurus bisa mengetahui hal yang baik dan yang buruk pada sebagian perbuatan.
3. Jika dakwah Islam sudah sampai pada seseorang, maka semua sepakat, bahwa yang diperintahkan Syariat itu baik, dan yang dilarang Syariat itu buruk.
Wallahu a’lam.
Facebook: Muhammad Abduh Negara