TELAH terjadi silang pendapat dalam masalah ini menjadi dua gologan. Pertama: Bekam membatalkan puasa. Ini pendapat sebagian ulama’ dari madzhab Hambali. Pendapat ini berdalil dengan hadits dari sahabat Tsauban – rodhiallohu ‘anhu – beliau berkata, sesungguhnya Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
أفْطَرَ الحَاجِمُ والمَحْجُومُ
“Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.” [ HR. Abu Dawud : 2370 , Ibnu Majah : 1680 dan selain keduanya dan dishohihkan oleh asy-syaikh Al-Albani – rohimahullah ].
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh sekelompok para sahabat, diantaranya : Ali bin Abi Tholib, Sa’ad bin Abi Waqqosh, Usamah bin Zaid, Aisyah, Ma’qil bin Yasar, Abu Huroiroh, Ibnu Abbas, Abu Musa, dan Bilal bin Abi Robah.
Sisi pendalilan dari hadits di atas sangat jelas sekali, bahwasanya seorang yang membekam dan dibekam batal puasanya.
Kedua :
Bekam tidak membatalkan puasa. Dan pendapat ini adalah pendapat yang rajih (kuat). Dan ini merupakan pendapat Jumhur ulama’ ( mayoritas ulama’ ). Al-Imam An-Nawawi – rohimahullah – berkata :
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّهُ لَا يُفْطِرُ بِهَا لا الحاجم ولا لمحجوم وَبِهِ قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ وأم سلمة وسعيد بن المسيب وعروة ابن الزُّبَيْرِ وَالشَّعْبِيُّ وَالنَّخَعِيُّ وَمَالِكٌ وَالثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَدَاوُد وَغَيْرُهُمْ قَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ الصَّحَابَةِ وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ
“Telah kami sebutkan, sesungguhnya pendapat kami bahwa bekam tidak membatalkan puasa, tidak yang membekam dan juga tidak yang dibekam. Dan ini merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Khudri, Ummu Salamah, Sa’id bin Al-Musayyib, Urwah bin Az-Zubair, Asy-sya’bi, An-Nakho’i, Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Dawud, dan selain mereka. Pengarang kitab Al-Hawi berkata : ini merupakan pendapat kebanyakan para sahabat dan kebanyakan para ahli fiqh.” [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 6/349 ].
BACA JUGA: Kapan Waktu Terbaik untuk berbekam?
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas – rodhiallohu ‘anhu -, beliau berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“Sesungguhnya Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – bekam dalam keadaan ihram dan beliau juga bekam dalam keadaan puasa.” [ HR.Al-Bukhori : 1938 ].
Sisi pendalilan dari hadits di atas, sesungguhnya Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – melakukan bekam, dalam kondisi sedang puasa. Seandainya bekam membatalkan puasa, maka beliau tidak akan melakukannya. Karena jika beliau melakukannya, maka berarti beliau telah sengaja untuk berbuka. Ini tidak mungkin.
Adapun hadits yang dipakai berdalil oleh golongan pertama, telah dimansukh ( telah dihapus hukumnya ) dengan hadits Ibnu Abbas di atas. Hal ini diperkuat oleh beberapa atsar dari para sahabat – rodhiallohu ta’ala anhum- , diantaranya adalah :
>>Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik – rodhiallohu ‘anhu – beliau berkata :
أول ما كرهت الحجامة أن جعفر بن أبي طالب احتجم فمر به النبي –صلى الله عليه و سلم – فقال : أفطر هذان. ثم رخص النبي –صلى الله عليه و سلم – بعد في الحجامة للصائم
“Pertama kali aku membenci bekam, sesungguhnya Ja’far bin Abi Thalib melakukan bekam ( dalam kondisi sedang puasa ). Maka Nabi – shollallahu ‘alaihi wa sallam – lewat kemudian berkata : “Dua orang ini telah berbuka”. Kemudian setelah itu Nabi – shollallahu ‘alaihi wa sallam –memberikan rukhshah ( keringanan ) berbekam untuk seorang yang sedang puasa.” [ HR. Ad-Daruquthni dengan sanad yang kuat ].
>>Dari Abu Said Al-Khudri – rodhiallohu ‘anhu – beliau berkata :
رخص النبي – صلى الله عليه و سلم – في القبلة للصائم و في الحجامة
“Nabi – shollallahu ‘alaihi wa sallam – telah memberikan rukhshah ( keringanan ) dalam masalah mencium dan bekam bagi seorang yang puasa.” [ HR. Ath-Thobroni, Ad-Daruquthni dengan sanad yang shohih ].
>>Dari Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu beliau berkata :
أكنتم تكرهون الحجامة للصائم ؟ فقال : لا إلا من أجل الضعف
“Apakah kalian membenci bekam bagi seorang yang puasa ? Beliau menjawab : Tidak, kecuali karena lemah”. [ HR. Al-Bukhari ]
Dan masih ada beberapa atsar dari para sahabat dalam masalah ini. Dan lafadz rukhsah tidaklah dimutlakkan kecuali untuk sesuatu yang asalnya azimah ( pasti/harus ). Hal ini menunjukkan bahwa sebelumnya bekam membatalkan puasa sehingga dilarang oleh Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian setelah itu Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – memberikan rukhsah ( keringanan ).
Al-Imam Abu Sa’adat Al-Mubarok bin Muhammad Asy-Syaibani Al-Jazari Ibnul Atsir – rohimahullah – ( wafat : 606 H ) :
فذكر ابن عباس حجامة النبي – صلى الله عليه وسلم – عام حجة الإِسلام سنة عشر، وحديث “أفطر الحاجم والمحجوم” في الفتح سنة ثمان قبل حجة الإِسلام بسنتين، فإن كانا ثابتين فحديث ابن عباس ناسخ وحديث الحاجم والمحجوم منسوخ.
“Ibnu Abbas menyebutkan, bahwa nabi – shollallahu ‘alaihi wa sallam – bekam pada tahun “haji Islam” yaitu tahun 10 Hijriah. Sedangkan hadits “Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam “ diucapkan pada “Fathul Makkah” ( pembukaan kota Mekkah ) pada tahun 8 Hijriah dua tahun sebelum haji Islam. Jika ini benar, maka hadits Ibnu Abbas nasikh ( menghapus hukum ) dan hadits “Berbukanya orang yang membekam dan dibekam” mansukh ( telah dihapus hukumnya )”. [ Asy-Syafi Syarhu Musnad Asy-Syafi’i : 3/192 ].
BACA JUGA: Ini Patogen yang bisa Dikeluarkan dengan Terapi Bekam (Bagian 1)
Al-Imam An-Nawawi – rohimahullah – berkata :
أَمَّا حَدِيثُ ” أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ ” فَأَجَابَ أَصْحَابُنَا عَنْهُ بِأَجْوِبَةٍ (أَحَدُهَا) جَوَابُ الشَّافِعِيِّ ذَكَرَهُ فِي الْأُمِّ وَفِيهِ اختلاف وتابعه عليه والخطابى البيهقى وَسَائِرُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ أَنَّهُ مَنْسُوخٌ بِحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِ مِمَّا ذَكَرْنَا
“Adapun hadits “Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam”, maka telah dijawab oleh para sahabat kami ( ulama’ Syafi’iyyah ) dengan beberapa jawaban : Pertama : Jawaban Al-Imam Asy-Syfai’i yang telah beliau sebutkan dalam kitab “Al-Umm” dan di dalamnya terdapat perselisihan. Pendapat ini telah diikuti oleh beliau ( Asy-Syafi’i ), Al-Khathabi, Al-Baihaqi dan seluruh para sahabat kami, sesungguhnya hadits tersebut telah dimansukh ( dihapus hukumnya ) oleh hadits Ibnu Abbas dan selainnya dari apa-apa yang telah kami sebutkan.” [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 6/351 ].
Peringatan :
Sebagian ulama’ menggangap cacat hadits Ibnu Abbas yang dipakai berdalil oleh pendapat kedua, yaitu pada lafadz “…dalam kondisi sedang puasa”. Lafadz ini telah diingkari oleh Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah. Dan yang benar dengan lafadz “…dalam kondisi sedang ihrom”.
Tanggapan :
Sesungguhnya Imam Ahmad telah membawakan jalur periwayatan yang bukan jalur periwayatan yang dibawakan oleh Imam Al-Bukhari. Dan pengingkaran Imam Ahmad ditujukan kepada jalur-jalur periwayatan yang beliau bawakan bukan kepada jalur periwayatan yang dibawakan oleh Imam Al-Bukhari. Adapun jalur periwayatan yang dibawakan oleh Imam Al-Bukhari, maka beliau tidak mengingkarinya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar – rohimahullah – berkata :
و الحديث لا مدفع فيه ولا اختلاف في ثبوته و صحته
“Hadits ini ( Hadits Ibnu Abbas ) tidak ada alasan untuk menolaknya dan tidak ada perselisihan dalam ketetapan dan keshohihannya.”
Hadits ini diriwayatkan dari Ayyub dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas. Dan telah diperselihkan dari Ayyub. Wuhaib dan Abdul Warits meriwayatkan darinya secara maushul. Sendangkan Ibnu Ulaiyyah dan Ma’mar meriwayatkan darinya secara mursal. Sedangkan Hammad bin Zaid meriwayatkan dengan secara mursal dan maushul.
BACA JUGA: Ini Patogen yang bisa Dikeluarkan dengan Terapi Bekam (Bagian 2 – Habis)
Kondisi seperti ini tidak berpengaruh kepada hadits. Bahkan hadits ini telah tsabit, secara maushul ataupun mursal. Dimana ketika maushul dan mursal itu sama kekuatannya, maka tidak boleh untuk mentarjih ( menguatkan ) salah satunya. Hadits ini juga telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam “shohihnya” dimana shohih Al-Bukhari adalah sebuah kitab yang telah diterima umat Islam. Hadits-hadits dalam shohih Al-Bukhari tidak bisa kita katakan terhadap salah satunya berpenyakit/cacat kecuali dengan bukti yang nyata.
Kesimpulan :
Bekam tidak membatalkan puasa, baik orang yang membekam atau yang dibekam. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama’, diantara mereka imam yang empat Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Akan tetapi lebih utama seorang yang puasa tidak melakukannya, sebagaimana telah dinyatakan oleh An-Nawawi dalam kita Majmu’ Syarhul Muhadzdzab. []
Facebook: Abdullah Al Jirani