Dr. Wahbah Az-Zuhaili menyatakan, “Ijtihad itu sangat mungkin, tidak sulit, dengan syarat kita kubur waham dan khayalan tersebut (bahwa ijtihad mustahil dilakukan), dan kita robek kain penghalang yang menutupi akal dan hati kita, berupa kegagalan dan kelemahan di masa lalu, serta dugaan jahat, bahwa kita tak mungkin bisa mencapai apa yang bisa dicapai oleh orang-orang terdahulu.
Seakan-akan itu adalah hal yang mustahil. Padahal, apalagi yang mustahil, setelah manusia bisa melakukan penjelajahan luar angkasa, penemuan atom, listrik, dan yang lainnya?”
BACA JUGA:Â Ijma’ Para Sahabat Bahwa Hasil Ijtihad Mungkin Keliru
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, dalam bab “Al-Ijtihad Wa At-Taqlid”, di kitab beliau “Ushul Al-Fiqh Al-Islami”, secara terang-terangan mendukung dibukanya kembali pintu ijtihad, serta menyatakan ijtihad itu sangat mungkin dilakukan di masa sekarang. Sekaligus mengkritik pihak-pihak yang bersikap jumud, dan tetap pada wahamnya, bahwa tidak ada yang layak dan bisa berijtihad di masa sekarang.
Jika kita perhatikan, paling tidak ada tiga hal yang menunjukkan ijtihad sangat mungkin dilakukan di masa sekarang dan sangat perlu dilakukan, yaitu:
1. Karunia Allah ta’ala berupa ilmu, bashirah, dan ketekunan belajar dan meneliti, tidak habis dan berakhir setelah berlalunya masa tertentu. Karunia tersebut terus Allah berikan, dari dulu hingga sekarang. Yang mendapatkannya, mengetahuinya. Yang tidak mendapatkan, mengira itu sudah tertutup.
2. Fasilitas untuk berijtihad di masa sekarang, berupa referensi dan literatur yang melimpah dan mudah diakses serta kemudahan untuk meneliti fakta dengan adanya kemajuan teknologi, jauh melampaui yang didapatkan para ulama di masa lalu.
3. Berbagai persoalan yang harus dijelaskan hukumnya, terus bermunculan tak pernah berhenti. Berbagai fakta dan fenomena baru, bahkan sangat mungkin tak terbayang di benak para ulama 200 tahun lalu, apalagi seribu tahun lalu.
Ini perlu jawaban komprehensif dari para fuqaha. Bahkan ia harus lintas madzhab, memperhatikan sisi maqashid dan maslahat mafsadat, tidak cukup hanya takhrij madzhab.
Karena itu, pembelajaran fiqih harus diarahkan untuk melahirkan kemampuan ijtihad, bukan sekadar menghafal matan fiqih dan memahami turats saja. Itu memang perlu dilakukan, sebagai bagian dari tahapan belajar, namun ia bukan tujuan.
Berhenti hanya pada titik itu, membuat pembelajaran fiqih kehilangan ruhnya, membuatnya jauh dari tujuan hakikinya, dan bisa jadi, membuatnya menjadi tak bermanfaat.
BACA JUGA:Â Ijtihad Adalah Ruh Pemikiran Islam
Namun tentu, saat kita bicara ijtihad ini, dan mungkinnya ia dilakukan di masa sekarang, kita tidak menafikan taqlid. Ijtihad dan taqlid adalah dua hal yang akan selalu ada. Mayoritas orang adalah muqallid.
Bahkan pada generasi Shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in sekalipun, mayoritas mereka bukan ahli ijtihad dan ahli fatwa. Yang mampu berijtihad dan berfatwa di kalangan Shahabat, persentasenya sangat kecil, dibandingkan jumlah seluruh Shahabat.
Ijtihad ini ranahnya ulama. Saat kita mengkritisi pihak-pihak yang menolak kemungkinan ijtihad di masa sekarang, maksudnya adalah kita mengkritik orang yang berkeyakinan bahwa semua ulama di masa sekarang statusnya hanya muqallid, dan tidak bisa berijtihad. Dan ini adalah kesalahan dan sikap jumud yang merusak umat Islam.
Wallahu a’lam. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara