Oleh: RH. Arkim
Physic Tutor di Ganesha Operation
AKU tidak akan pernah berhenti bersyukur tentang kehadiran putriku yang lahir akhir april lalu. Dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai jauh sebelum aku bertemu ibunya.
Namun layaknya seorang ayah (walaupun mungkin ini terlalu cepat untuk kupikirkan saat ini), ada banyak kekhawatiran tentang masa depannya nanti. Salah satunya adalah pertanyaan yang diajukan beberapa sahabat.
“Apakah kau izinkan putrimu pacaran?”
Aku tidak bisa memungkiri apalagi menolak satu hal. Bahwa putriku hidup dalam dunia yang dipenuhi sosialita antar remaja. Dia akan bertemu banyak orang di masa kecilnya, masa pubernya, hingga masa remajanya yang masing-masing orang memiliki karakter mereka sendiri. Beberapa di antara mereka adalah pria yang ingin pacaran dengannya, dan wanita yang mendukung agar dia pacaran dengan pria itu.
Apa yang harus kulakukan sebagai ayah?
Apakah aku harus mengancamnya agar tidak pacaran? Tidak. Karena jika aku melakukannya, aku khawatir dia menjadi pribadi yang mudah takut, atau bahkan pacaran tanpa sepengatahuanku dan istriku. Perlahan, dia akan mulai belajar berbohong agar tidak dimarahi. Dan itu bukan sesuatu yang baik sama sekali.
Apakah aku harus mengurungnya setiap pulang sekolah? Itu akan jauh lebih buruk. Dia akan terisolasi dari dunia luar yang bisa menyebabkan sudut pandangnya menjadi sempit. Kemampuan sosialnyapun akan rendah sehingga dia menjadi tipe yang tidak berani mendobrak sesuatu yang salah.
Hanya ada dua cara yang bisa kulakukan.
Pertama, menjadikan diriku sebagai standar utama baginya untuk pacaran dengan seseorang. Ini sangat baik untukku dan sekaligus untuknya. Secara otomatis, aku akan terstimulai untuk lebih dan lebih dibandingkan saat ini untuk melindungi putriku. Dan secara otomatis juga, putriku akan mengisolasi dirinya dari pria manapun yang tidak lebih baik dariku.
Dia akan membandingkan kecerdasan gebetannya denganku, dia akan menilai kelembutan gebetannya dengan perlakuanku, dia akan melihat kealiman gebetannya dengan agamaku, dia akan memerhatikan karakter gebetannya dengan kerja kerasku, dan dia akan merasakan cinta gebetannya dengan kasih sayangku. Jika nanti dia jatuh hati pada pria yang kuyakin telah melampaui diriku, bahkan akupun tidak akan menentangnya.
Kedua, memberikan perhatian, pengertian, disiplin, dan kepercayaan penuh padanya. Agar dia tidak lagi membutuhkan ‘cinta-cintaan’ dari seorang pacar mengingat semua perasaan itu telah aku dan istriku penuhi. Sehingga, hanya ada sedikit sekali ruang kosong di hatinya yang bisa diisi oleh laki-laki manapun selama masa remajanya itu.
Selain itu, kedisiplinan dan kepercayaan penuh yang kuberikan padanya (tanpa banyak memberi ancaman) akan menimbulkan rasa segan. Dia akan menolak dengan tegas siapapun yang mencoba merayunya bukan karena takut, tapi karena tidak ingin merusak kepercayaan dari kedua orang tuanya.
Seperti yang pernah ditulis oleh sahabat saya di Depok, Fauzan F, bahwa pendidikan paling berpengaruh bukanlah sekolah, pengajian, ataupun persahabatan. Pendidikan yang paling berpengaruh adalah rumah. Satu tempat dimana dia mengawali dan menutup hari demi hari. Aku percaya istriku tidak akan berhenti menjalin persahabatan dengannya, seperti aku yang tidak akan mengkhianati sayangku padanya. []