PARA ulama berbeda pendapat mengenai hukum khamr yang terbagi menjadi dua pendapat:
1. Pendapat pertama, khamr adalah najis. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama, di antaranya empat imam mazhab, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Adapun dalil mereka adalah firman Allah:
يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ )
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah. adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 90).
Berkenaan dengan ayat ini mereka berkata, “Ar-Rijs pada ayat iniartinya najis.” Maka dari itu, mereka menghukumi khamr adalah najis secara nyata.
2. Pendapat kedua, khamr itu suci. Pendapat ini dipegang oleh Rabi’ah, Al-Laits, Al-Muzani dan para ulama salaf selain mereka.
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, Ahmad Syakir dan Al-Albani-semoga Allah merahmati mereka. Ini adalah pendapat yang kuat (rajih) dengan alasan sebagai berikut:
a. Ayat di atas (pendapat pertama) tidak menunjukkan atas najisnya khamr. Hal ini dapat dilihat dari beberapa segi:
– Lafal rijs pada ayat tersebut mempunyai banyak arti ((Lihat An-Nihayah, Ibnu Atsir, Lisan Al-Arab, Mukhtar Ash-Shihah dan Tatasir). Dapat diartikan dengan kotoran, haram, buruk, azab, laknat, kufur, kejelekan, dosa. najis dan selainnya.
BACA JUGA: Macam-macam Najis, Mulai dari Bagian Diri Manusia, sampai Daging Hewan yang Tak Boleh Dimakan!
– Kami belum mendapatkan perkataan seorang salaf pun yang menafsirkan ar-rijs dalam ayat ini dengan najis. Bahkan, Ibnu Abbas , menafsirkan ar-rijs dengan kemurkaan, sementara Ibnu Zaid menafsirkannya dengan kejelekan.
– Lafal ar-rijs yang termaktub dalam Al-Qur’an selain ayat ini, terdapat di tiga tempat. Tak ada satu ayat pun yang menunjukkan arti najis. Misalnya kata ar-rijs pada ayat:
…. كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ )
“…Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am [6]: 125).
Arti ar-rijs di sini adalah azab. Sedangkan pada ayat: ..
إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَا وَلَهُمْ جَهَنَّمُ … .
“…karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam…” (QS. At-Taubah [9]: 95). Perbuatan mereka ar-rijs, maksudnya jelek. Dan firman Allah:
…. فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ ….
“….maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu…” (QS. Al-Hajj [22]: 30). Berhala-berhala dalam ayat ini disebut najis, karena menjadi sebab adanya dosa dan azab. Bukan karena bendanya yang najis. Sebab hukum asal batu dan patung-patung itu bukan sesuatu yang najis. Firman Allah:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَى مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمِ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمَا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ ….
“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor…” (QS. Al-An’am [6]: 145). Ini masih mengandung beberapa makna.
– Ketika lafal khamr yang termaktub di dalam ayat beriringan dengan lafal al-anshâb (judi) dan al-azlâm (mengundi nasib), maka ada indikasi maknanya dipalingkan menuju makna bukan ar-rijs secara syar’i. Begitu juga firman Allah:
يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ …
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis…” (QS. At-Taubah [9]: 28). Sebab hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa fisik orang-orang musyrik tidaklah najis.
– Pengharaman khamr tidak mengharuskan konsekuensi dzatnya najis. Adapun benda najis, maka mengharuskan pengharamannya. Misalnya, keharaman memakai sutera dan emas, padahal kedua benda tadi suci, tanpa harus dikaji berdasarkan syar’i dan ijma para ulama.
– Lafal ar-rijs dalam ayat di atas dibatasi dengan lafal berikutnya termasuk perbuatan setan (min amali asy-syaithân). Maksudnya, perbuatannya buruk yang berarti jelek, haram dan dosa. Bukan artinya kotoran pada bendanya sehingga menyebabkan benda tadi najis.
b. Di antara dalil yang digunakan sehingga dzat khamr itu suci, adalah riwayat Anas tentang kisah pengharaman khamr, “…Rasulullah menyuruh seseorang berseru, “…ketahuilah khamr sudah diharamkan…” Anas melanjutkan, kemudian aku mengeluarkan dan menumpahkannya di jalan kota Madinah,” (30. Shahih HR. Al-Bukhan (2332) Muslim (1980)
BACA JUGA: Cara Mencuci Pakaian yang Terkena Najis
c. Ada juga hadits yang menceritakan tentang seorang lelaki yang membawa dua wadah yang berisi khamr. Melihat hal itu, Rasulullah bersabda:
إنَّ اللَّهَ الَّذِي حَرَمَ شُرْبَهَا حَرَمَ بَيْعَهَا
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.” Maka orang tersebut membuang khamr yang ada di kedua wadah itu.” (Shahih HR. Muslim (12061, Malik (15431)
Jika khamr itu najis tentunya Nabi akan memerintahkan para shahabat menyiram tanah dengan air untuk mensucikannya. Sebagaimana yang terjadi pada seorang badui yang kencing di dalam masjid kemudian Nabi memerintahkan untuk menyiramnya dengan air. Beliau pasti juga akan memerintahkan untuk berhati-hati dari hal tersebut.
Jika khamr itu najis, pasti Nabi akan memerintahkan untuk mencuci kedua wadah tersebut.
d. Hukum asal khamr adalah suci. Tidak berubah hukumnya kecuali ada dalil shahih yang menyebutkannya. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya, maka dikembalikan pada hukum asalnya. Wallahu a’lam. []
SUMBER: HUMAYRO