KETIKA manusia meninggal, maka ia telah berpindah ke alam lain yang dikenal dengan alam barzakh atau alam kubur. Alam barzakh sendiri adalah alam yang masih gaib bagi orang yang masih hidup di dunia. Olehnya kita tidak dapat mengetahui secara detail tentang kehidupan di alam tersebut kecuali melalui penjelasan Allah dan Rasulullah SAW. Yang pasti bahwa alam barzakh berbeda dengan alam dunia, sehingga tidak sepenuhnya dapat diqiyaskan dengannya.
Salah satu buktinya adalah dua orang atau lebih yang berdekatan di alam barzakh dan berdampingan kuburannya, bisa jadi salah seorang di antaranya merasakan kenikmatan alam barzakh yang tidak dinikmati orang yang tepat berada disampingnya. Sebaliknya orang yang ada di sampingnya boleh jadi sedang merasakan dahsyatnya siksaan azab kubur dan sama sekali tidak dirasakan oleh tetangganya.
BACA JUGA: Lima Jenis Roh dan Tempatnya di Alam Barzakh
Yang lebih mengherankan, seandainya tanah kuburannya disentuh, dipegang atau diinjak oleh orang yang masih hidup maka ia tidak akan merasakan apa-apa, padahal orang yang ada di baliknya sedang merasakan dahsyatnya azab kubur. Hal itu karena alam orang yang telah meninggal sudah berbeda dengan orang masih hidup di dunia ini.
Realitasnya manusia mengalami beberapa alam yang berbeda antara satu dengan lainnya. Sebelum hidup di dunia ini manusia berada di alam ketiadaan dan belum disebut-sebut. Allah berfirman:
{هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا} [الإنسان: 1]
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?”. (QS. Al-Insan: 1).
Setelah Allah menciptanya di dunia, mereka berada di alam rahim yang kondisinya tidak sepenuhnya sama dengan kehidupan dunia, lalu mereka hidup di dunia yang berbeda dengan alam sebelum dan sesudahnya. Selanjutnya ia akan beralih ke alam barzakh yang juga berbeda dengan alam sebelum dan sesudahnya. Dan terakhir nanti akan memasuki alam akhirat yang tidak sama dengan alam sebelumnya. Setiap alam tersebut memiliki kondisi dan hukum-hukum yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Sehingga kehidupan di suatu alam yang masih bersifat gaib bagi yang belum merasakannya tidak dapat disamakan dengan kehidupan di alam lainnya kecuali jika terdapat dalil berupa ayat atau hadits shahih yang menjelaskannya.
Nah, apakah setelah meninggal, manusia masih memiliki perasaan? Apakah mereka dapat melihat, mendengar, merasakan sakit dan lain-lain?
Jawabannya: Iya. Manusia masih memiliki perasaan, mereka dapat melihat, mendengar dan merasa sakit. Meski perasaan tersebut atau kemampuan mendengar dan lain-lain tidak dapat dipastikan bahwa hal itu dapat berlangsung terus-menerus. Yang pasti, dalam beberapa kondisi tertentu mereka dapat mendengar dan merasakan sesuatu di sekitarnya.
Hal itu dapat dipahami dari beberapa hadits Nabi SAW, antara lain:
1. Orang yang baru selesai dikuburkan mendengarkan suara alas kaki orang-orang yang menguburkannya, utamanya saat mereka meninggalkan kuburannya, Nabi bersabda:
»إِنَّ الْعَبْدَ، إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ، وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ، إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ«
“Seorang hamba, jika ia telah diletakkan di kuburnya, dan para pengantarnya berpaling meninggalkannya, maka ia mendengarkan suara sandal atau alas kaki mereka.” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadits ini menjadi salah satu bukti bahwa mereka memiliki perasaan dan mendengarkan suara.
2. Kisah orang-orang kafir Quraisy yang terbunuh dalam perang Badar, yang ditanya oleh Nabi setelah tiga hari mereka meninggal; Aapakah kalian juga telah merasakan apa yang dijanjikan Allah dan Rasulnya? Karena sesungguhnya Aku telah merasakan janji Tuhanku. Mendengar pertanyaan Nabi tersebut, Umar bin Khatthab bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana mungkin Engkau berbicara kepada jasad-jasad yang tidak lagi memiliki roh?
Rasulullah menjawab:
»مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يَرُدُّوا عَلَيَّ شَيْئًا«
“Kalian tidak lebih mendengar dari apa yang Aku katakan daripada mereka, hanya saja mereka tidak dapat membalas pertanyaan Aku.” (HR. Muslim).
3. Teks do’a ziarah kubur yang diajarkan oleh Nabi. Yaitu:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ، مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ، وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتأْخِرِينَ، أَسْاَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Semoga kesejahteraan senantiasa tercurah untukmu, wahai para penghuni kubur dari orang-orang mukmin dan muslim, dan sesungguhnya kami pun akan menyusul kalian insya Allah. Semoga Allah merahmati orang yang mendahului di antara kita dan yang akan menyusul kemudian. Aku memohon keselamatan kepada Allah untuk diri kami dan diri kalian.”
Teks doa ini mengunakan uslub khithab/penyampaian kepada penghuni kubur, “السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ” (Semoga kesejahteraan senantiasa tercurah untukmu) dan “وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ” (dan sesungguhnya kami pun akan menyusul kalian insya Allah). Uslub ini menunjukkan bahwa mereka mendengarkan, karena jika seandainya mereka tidak mendengar salam dan doa orang yang berziarah maka khithab ini akan menjadi sia-sia atau menjadi seperti khitab kepada sesuatu yang tidak ada. Tentu hal seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh orang berakal dan mustahil diajarkan oleh Nabi.
4. Dalam kitab “al-Ruh” karya Ibnul Qayyim, permasalahan pertama yang dibahas oleh penulis adalah apakah orang-orang yang telah meninggal mengenal orang yang berziarah dan memberi salam kepadanya? Lalu beliau menukil pernyataan Imam Ibnu Abdil Barr bahwa terdapat hadits shahih dari Nabi yang menyatakan:
مَا من مُسلم يمر على قبر أَخِيه كَانَ يعرفهُ فِي الدُّنْيَا فَيسلم عَلَيْهِ إِلَّا رد الله عَلَيْهِ روحه حَتَّى يرد عَلَيْهِ السَّلَام
“Tidaklah seorang muslim melewati kuburan saudaranya sesama muslim yang dikenalnya di dunia, lalu ia memberi salam kepadanya kecuali Allah mengembalikan rohnya kepadanya agar ia dapat menjawab salamnya”. Lalu beliau menegaskan bahwa hal ini merupakan dalil yang tegas bahwa ia mengenal dan menjawab salamnya. (Lihat: al-Ruh, hal. 5).
5. Wasiat Amru bin ‘Ash sebelum wafat yang diriwayatkan oleh Imam muslim. Beliau berwasiat antara lain:
فَإِذَا أَنَا مُتُّ فَلَا تَصْحَبْنِي نَائِحَةٌ، وَلَا نَارٌ، فَإِذَا دَفَنْتُمُونِي فَشُنُّوا عَلَيَّ التُّرَابَ شَنًّا، ثُمَّ أَقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ وَيُقْسَمُ لَحْمُهَا، حَتَّى أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ، وَأَنْظُرَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي
“Jika aku wafat, maka jangan aku ditangisi dengan cara niyahah dan jangan pula dibakarkan api. Jika kalian menguburku maka timbunlah aku dengan tanah yang disemburkankan, lalu tinggallah kalian sejenak sekitar kuburanku, seperti lamanya orang yang menyembelih onta hingga selesai membagi-bagi dagingnya, agar aku dapat terhibur dengan kalian dan aku dapat menjawab utusan Tuhanku (malaikat yang bertanya kepadanya). (HR. Muslim).
Dalam mengomentari hadits ini, Syaikh Muhammad al-Amin al-Syinqithiy menyatakan bahwa wasiat yang terdapat hadist ini setara dengan hadits marfu kepada Nabi, karena terhiburnya orang yang telah wafat di kuburan dengan keberadaan orang yang masih berada di sekitar merupakan perkara yang tidak dapat diketahui dengan akal semata. (Lihat: Adhwa’ al-Bayan: 6/477).
BACA JUGA: Apakah Orang Kafir Juga Diuji di Dalam Kubur?
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa orang yang telah wafat dan berada di alam barzakh masih memiliki perasaan dan dapat mendengar sesuatu. Hanya saja tidak dapat dipastikan bahwa hal itu dapat berlangsung seterusnya sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah. (lihat: Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah: 4/296).
Adapun ayat-ayat yang zhahirnya kelihatan menafikan pendengaran orang yang telah wafat seperti firman Allah:
{إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى …} [النمل: 80]
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar. . .”. (QS. An-Naml: 80).
Dan firman Allah:
{… وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ} [فاطر: 22]
“. . . dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22).
Maka sesungguhnya ayat-ayat tersebut bermaksud menafikan pendengaran spesifik, yaitu pendengaran yang mengantar kepada sikap menerima, mengimani dan mengamalkan apa yang didengar. Hal ini berlaku bagi orang-orang kafir yang sesungguhnya tetap mendengar perkataan Nabi dan mendengar wahyu yang dibacakan kepadanya tetapi mereka tidak menerima, meyakini dan mengamalkannya. (lihat ulasan tafsir ayat tersebut dalam kitab: Adhwa’ al-Bayan karya al-Syinqithiy: 6/460-466). Wallahu a’lam. []
SUMBER: WAHDAH