DALAM madzhab Syafi’i, aurat laki-laki adalah apa yang ada di antara lutut dan pusar. Artinya, lutut dan pusar tidak termasuk aurat. Tapi hanya yang ada diantara keduanya saja.
Hal ini ditegaskan oleh Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) dimana beliau berkata:
الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ أَنَّهَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ والركبة وليست السرة والكربة مِنْ الْعَوْرَةِ قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى أَنَّ عَوْرَةَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ مَا بين سرته وركبته وأن السرة والركبة ليسا عَوْرَةً فِي الْأُمِّ وَالْإِمْلَاءِ
“Yang benar dan telah ditegaskan (dalam madzhab), sesungguhnya aurat laki-laki apa yang ada diantara pusar dan lutut, (dimana) pusar dan lutut tidak termasuk aurat. Asy-Syaikh Abu Hamid (Al-Ghazali) menyatakan : Bahwa Imam Asy-Syafi’i telah menegaskan sesungguhnya aurat laki-laki merdeka dan hamba sahaya, apa yang ada diantara pusar dan lutut. Dan sesungguhnya pusar dan lutut, keduanya tidak termasuk aurat dalam (kitab) “AL-UMM” dan “AL-IMLA’…”[Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/168].
BACA JUGA: Hukum Ayah Melihat Aurat Putrinya
Dan pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama’), diantara mereka adalah Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam suatu riwayat. Mereka berdalil dengan suatu riwayat dari Zur’ah bin Abdurrahman bin Jarhad dari bapaknya ( Abdurrahman bin Jarhad ) beliau berkata : “Jarhad termasuk salah seorang ahlus suffah, sesungguhnya beliau berkata : “Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- duduk di samping kami dalam keadaan pahaku tersingkap. Maka beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
أما علمت أن الفخذ عورة ؟
“Apakah kamu tidak tahu bahwa sesungguhnya paha itu aurat ?” [HR. Abu Dawud : 4014 – shahih].
Diriwayatkan pula, sesungguhnya Rosulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melewati Jarhad dalam kondisi paha Jarhad tersingkap ( kainya ). Maka Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
إن الفخذ عورة
“Sesungguhnya paha itu aurat”. [HR. At-Tirmidzi : 2793- shahih].
Dua hadits di atas secara jelas dan tegas menunjukkan, bahwa paha termasuk aurat. Dalam ilmu ushul fiqh, dalil yang seperti ini dinamakan “mubayyan”. Yaitu suatu dalil yang langsung dapat dipahami maksud atau maknanya darinya dari semenjak diletakkan atau setelah dijelaskan. Dalil seperti ini tidak memiliki kemungkinan makna kecuali satu, bahwa paha adalah aurat.
Adapun hadits-hadits yang menceritakan tentang kejadian-kejadian dimana Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terbuka pahanya, seperti kejadian saat Abu Bakar dan Umar masuk kepada nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau dalam keadaan terbuka pahanya dan beliau tidak menutupnya. Tapi saat yang masuk Utsman, maka beliau menutupnya (HR. Muslim : 4/1866), atau hadits yang lain dari sahabat Anas bin Malik –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
أن النبي –صلى الله عليه و سلم –يوم خيبر حسر الإزار عن فخذه حتى إني لأنظر إلى بياض فخذه
“Sesungguhnya di hari perang Khoibar kain beliau tersingkap dari pahanya, sehingga aku melihat putinya paha beliau”. [ HR. Al-Bukhori : 364 ]
Kedua kisah di atas atau yang semisalnya merupakan “qadhiyyatul ‘ain”, yaitu suatu perkara (kejadian) yang menimpa seorang secara tertentu). Dalam ilmu ushul fiqh, jenis dalil yang seperti ini tidak bisa dipakai untuk berhujjah (berdalil) karena dua hal :
1). Tidak memiliki makna umum. Artinya makna yang terkandung di dalamnya tidak memiliki makna yang bersifat umum yang meliputi semua orang. Karena kejadian tersebut menimpa orang tertentu saja. Sehingga tidak bisa diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum, bahwa paha bukan aurat.
2). Dalil seperti ini memiliki banyak ihtimal (kemungkinan), kenapa nabi “membuka” pahanya ? ada banyak kemungkinan yang bisa diterapkan di dalamnya. “Suatu dalil yang memilki banyak kemungkinan makna, maka gugur pendalilan dengannya”, demikian dijelaskan dalam suatu kaidah.
Dua kisah di atas juga bersifat “mujmal” , yaitu suatu dalil yang maknanya tidak bisa dipahami secara langsung, akan tetapi terhenti oleh dalil lain. Maka dalam kondisi seperti ini, harus dikedepankan dalil yang “mubayyan” ( yang secara tegas dan jelas menyatakan bahwa paha adalah aurat) daripada dalil yang “mujmal” (kejadian yang menunjukkan nabi membuka pahanya). Lalu kisah-kisah yang menunjukkan nabi membuka pahanya harus ditakwil kepada makna-makna yang lain, misal : Nabi waktu itu tidak membuka pahanya secara sempurna, tapi hanya sebagian pahanya, atau kejadian itu tidak disengaja terjadi, tapi terbuka dengan sendirinya, atau takwil-takwil yang lainnya.
Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
المجموع شرح المهذب (3/ 170)
فَهَذَا لَا دَلَالَةَ فِيهِ عَلَى أَنَّ الْفَخِذَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ لِأَنَّهُ مَشْكُوكٌ فِي الْمَكْشُوفِ قَالَ أَصْحَابُنَا لَوْ صَحَّ الْجَزْمُ بِكَشْفِ الْفَخِذِ تَأَوَّلْنَاهُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ كَشْفُ بَعْضِ ثِيَابِهِ لَا كُلِّهَا قَالُوا وَلِأَنَّهَا قَضِيَّةُ عَيْنٍ فَلَا عُمُومَ لَهَا وَلَا حُجَّةَ فِيهَا.
“Maka ini (kisah nabi terbuka pahanya ketika Abu Bakar dan Umar masuk kepada beliau), tidak ada pendalilan di dalamnya bahwa paha bukan aurat. Karena hal itu perkara yang diragukan pada sesuatu yang dibuka (paha). Para sahabat kami (ulama’ Syafi’iyyah) berkata : seandainya beliau benar secara pasti telah membuka pahanya, maka kami mentakwilnya, bahwa makna yang diinginkan adalah “membuka” sebagian kainnya, bukan seluruhnya. Mereka menyatakan : bahwa hal ini merupakan “qadhiyyatul ‘ain”, maka tidak memilki makna umum serta tidak ada hujjah di dalamnya.”[Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/170].
BACA JUGA: Ukhti, Kaki Juga Aurat yang Wajib Ditutup
Sebagian ulama’, seperti Imam Ibnul Qoyyim –rohimahullah-membagi aurat menjadi dua, aurat kubra (besar) yaitu kemaluan dan dubur dan aurat shugra (kecil), yaitu paha. [ Tahdzibus Sunan : 11/36].
Kesimpulan:
1). Paha adalah aurat menurut pendapat yang paling kuat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama) termasuk di dalamnya madzhab Syafi’i. Yang dimaksud paha di sini adalah apa yang ada diantara lutut dan pusar.
2). Lutut dan pusar bukan aurat.
Demikian pembahasan kami kali ini. semoga bermanfaat bagi kita sekalian. Wallahu a’lam bish shawab. Barakallahu fiikum. []
Facebook: Abdullah Al Jirani