MEMAMAKAI pakaian terbaik di hari raya itu termasuk tajammul. Dalam Islam, tuntunan untuk bertajammul itu memang ada. Jadi, tak masalah jika seorang muslim memakai baju baru di hari raya.
Apakah tajammul termasuk tasyabbuh atau meniru golongan umat lain (nonMuslim)?
BACA JUGA: Tajamul Tanpa Tabbaruj di Hari Raya, Bagaimana Caranya?
Meski orang-orang non-muslim tersebut juga melakukan hal yang sama (yaitu membeli baju baru, pen.) untuk hari raya dan perayaan keagamaan mereka, bila dalil syariat menunjukkan bahwa suatu amalan merupakan tuntunan dan ajaran agama (Islam), maka amal tersebut tidak tergolong tasyabbuh terhadap orang kafir.
Akhlak mulia, interaksi-sosial yang baik, wajah ceria ketika berjumpa, dan tampil bersih dan tidak bau merupakan contoh amalan yang disyariatkan dalam Islam. Dalil-dalil syar’i menegaskan hal tersebut. Jadi, tidak mengapa melakukan perkara-perkara tersebut, meski di sisi lain orang non-muslim juga melakukannya.
Tasyabbuh (meniru) terhadap orang kafir menjadi terlarang bila perkara (perkara adat/kebiasaan/duniawi) tersebut memang khusus dilakukan orang kafir. Adapun bila perkara itu secara luas dilakukan oleh masyarakat, maka itu bukan khusus untuk orang kafir. Dalam hal ini, orang muslim tidak mengapa melakukannya.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang batasan tasyabbuh dengan orang kafir.
BACA JUGA: Bagaimana Cara Merayakan Idul Fitri? Apakah Ada Petunjuknya?
Beliau rahimahullah menjawab, “Tolak ukurnya, bila seseorang/suatu kaum melakukan sebuah perkara yang menjadi ciri khas orang/kaum lain. Dengan demikian, tolak ukur tasyabbuh dengan orang kafir adalah jika seorang muslim melakukan sebuah perkara yang menjadi ciri khas orang kafir. Adapun perkara-perkara yang tersebar luas di tengah kaum muslimin, sehingga perkara itu tidak lagi menjadi ciri khas orang kafir, berarti melakukan perkara itu bukan termasuk tasyabbuh, sehingga tidak haram. Kecuali kalau ada sisi lain yang menyebabkan perkara itu menjadi haram. Ini pendapat kami sesuai yang kami pahami dari makna tasyabbuh. Penulis kitab Fathul Bari memberikan contohnya beliau menuturkan, ‘Sebagian salaf membenci baju burnus (mantel yang bertudung kepala) karena baju burnus menyerupai baju pendeta. Imam Malik pernah ditanya tentang baju burnus; beliau berkomentar, ‘Tidak mengapa (memakainya).’ Ada yang menanggapi, ‘Tapi itu baju orang nasrani.’ Imam Malik menjawab, ‘Baju burnus sudah banyak dipakai di masyarakat.’” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin, 3:47-48). []
SUMBER: ISLAMQA | WANITA SHALIHAH