BANYAK yang bertanya, bagaiamana jika orang tua dahulunya tidak mampu mengaqiqahkan anaknya, apakah masih ada keharusan untuk mengaqiqahinya ketika mereka sudah mampu? Atau haruskah masing-masing anak itu mengaqiqahi diri mereka sendiri ketika sudah mampu?.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang orang yang belum sempat mengaqiqahi anak-anaknya kemudian dia meninggal, apakah keharusan mengaqiqahi anak-anaknya menjadi gugur? Ataukah anak-anak itu yang mengaqiqahi diri mereka sendiri?
Beliau menjawab:
“Aqiqah itu sunah muakkadah (amalan sunat yang sangat ditekankan) bagi orang yang mampu untuk melakukannya, yaitu penyembelihan dua ekor kambing jika bayinya laki dan satu ekor kambing jika bayinya perempuan. Paling bagus, hewan-hewan itu disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahiran bayi yang diaqiqahi. Misalnya, lahir pada hari Selasa, maka diaqiqahi pada pada senin berikutnya, Jika hari Jum’at, maka hari Kamis diaqiqahi dan begitu seterusnya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka pada hari ke-14, Jika pada hari ke-14 juga belum bisa, maka dilaksanakan pada hari ke-21, Jika pada hari itu juga belum bisa, maka kapan saja bisa dilaksanakan. Itulah pendapat para Ulama ahli fikih.
Jika orang tua tidak memliki kemampuan untuk melakukannya pada hari itu, maka keharusan melaksanakan aqiqah itu menjadi gugur. Karena aqiqah disyari’atkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan. Adapun orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka dia tidak dibebani untuk melakukannya, sebagaimana firman Allah:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (At-Taghâbun:16).
Dan firman-Nya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” (Al-Baqarah: 286).
Jadi orang tua yang sudah meninggal itu dan memiliki beberapa anak yang belum sempat diaqiqahi, maka kita lihat keadaannya:
- Jika dia termasuk orang-orang yang memeliki kesulitan dalam masalah ekonomi sehingga dia tidak bisa mengaqiqahi anak-anaknya, maka anak-anak itu tidak memiliki kewajiban untuk mengqadha’ pelaksanaan aqiqah itu, karena orang tua mereka ketika itu tidak terkena beban syari’at ini.
- Jika dia (semasa hidupnya) termasuk orang-orang yang kaya, akan tetapi dia tidak mengaqiqahi anak-anaknya karena meremehkan syari’at ini, maka ini tergantung keadaan dan kesepakatan ahli warisnya. Maksudnya, jika diantara ahli warisnya ada yang memiliki keterbatasan akal, keterbelakangan mental atau ada yang belum baligh, maka bagian mereka tidak boleh diambil untuk melaksanakan aqiqah ini.
Jika semua ahli warisnya mursyidun (berakal sehat dan memiliki kemampuan untuk mengelola hartanya dengan baik) lalu mereka ingin dan sepakat untuk menunaikan aqiqah itu dengan menggunakan harta warisan orang tua mereka, maka itu tidak apa-apa.
Jika itu tidak terjadi lalu masing-masing dari anak-anak itu berkeinginan untuk mengaqiqahi diri mereka sendiri sebagai wakil dari orang tua mereka atau sebagai qadha’ dari kewajiban orang tua mereka, maka itu juga tidak apa-apa. (1)
Ditempat lain, beliau pun menyebutkan perbedaan pendapat para Ulama tentang orang yang mengaqiqahi dirinya. Beliau mengatakan bahwa sebagian para Ulama memandang bolehnya seseorang mengaqiqahi dirinya sendiri, jika dia tahu orang tuanya belum mengaqiqahinya. Namun sebagian Ulama yang lainnya memandang bahwa aqiqah dibebankan hanya kepada orang tua. Jika orang tua melaksanakan mengaqiqahi anaknya, maka dia berhak mendapatkan pahala. Jika tidak, maka dia tidak mendapatkan pahala. (2). Semoga bermanfaat. []
Sumber: As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M
Footnote
(1) Majmu’ Fatawa wa Rasa’il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 25/221-222.
(2) Majmu’ Fatawa wa Rasa’il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 25/222.