Oleh: Beggy R
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
INDONESIA kembali merayakan 72 tahun kemerdekaannya. 72 tahun ini mengingatkan untuk berkaca kembali, apa makna kemerdekaan bagi kita? Apa harga yang harus dibayar untuk kemerdekaan yang kita rasakan saat ini?
Memutar kembali waktu, membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa kita, maka kita akan menemukan jejak islam di setiap lembar sejarah bangsa Indonesia. Bahkan perjuangan kemerdekaan sejatinya telah ada bahkan jauh sebelum terbayang sebuah komunitas bernama Indonesia.
Perjuangan kemerdekaan bangsa ini berurat dan berakar kepada perjuangan Islam. Perjuangan para pendahulu kita untuk merdeka bertolak dari agama Islam yang menentang penindasan. Yang mengagungkan nama Islam. Merentang dari barat hingga timur nusantara. Untuk menegakkan hukum Allah. Semangat jihad rakyat aceh yang seringkali disebut perang sabil menghujam dalam dada rakyat aceh.
Maka kita dapat melihat meleburnya jihad ke dalam budaya masyarakat aceh, sehingga didengungkanlah syair-syair hikayat perang sabil dalam kehidupan rakyat. Hikayat Perang Sabil sering dibacakan ditengah masyarakat.Di dengarkan turun temurun.Maka tak heran Aceh mampu menghadapi perang dengan penjajah hingga 40 tahun lamanya. Bahkan ketika kesultanan Aceh runtuh, rakyat aceh tak pernah benar-benar berhenti berperang.
Penulis Belanda, Zentgraaf, mencatat wanita-wanita aceh adalah wanita-wanita paling pemberani dalam kancah peperangan. “Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden (wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan).” Di lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, “en dat de vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en doodsverachting,” yang dalam terjemahan bebasnya berarti; wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan berani mati[1].
Keberanian para pejuang aceh ini juga dapat kita temukan pada perlawanan kaum paderi melawan kolonial Belanda. Kaum Paderi tak lain ingin menjadikan wilayah mereka sesuai dengan ajaran agama. Pun ketika Akhirnya harus menempuh jalan peperangan dengan penjajah maka Islamlah yang menjadi daya dorong para kaum paderi di Sumatera Barat.
Steyn Parve, salah seorang mantan residen Padangsche Bovenlanden, memberikan kesaksiannya mengenai Kaum paderi.
“Tetapi sekte Paderi tidak muncul sebentar saja. Sebaliknya, sekte ini laksana cahaya yang muncul dan bertahan lama, terus menerus memperlihatkan sinarnya kepada kita.”[2]
Hal yang sama kita temukan di Jawa. Pangeran Diponegoro yang ingin menegakkan Islam di tanah Jawa, mendapat dukungan dari kaum ulama seperti Kiyai Mojo. Sang Pangeran memiliki kehendak merdeka, dan melawan penjajahan dan mengembalikan kemuliaan Islam di tanah Jawa.[3]
Di Makassar, Sultan Alauddinberdiri tegak mempertahankan kesultanannya.Ketika VOC untuk meminta Makassar untuk menghentikan perdagangannya ke kepulauan Maluku, dijawab oleh Sultan dengan sangat mengesankan.
“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, (dan telah) membagikan bumi di antara manusia, (begitu pun) Dia memberi lautan sebagai milik bersama. Tidak pernah kami mendengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika engkau melakukan larangan itu, berarti engkau seolah-olah mengambil roti dari mulut orang (lain).”[4]
Jawaban ini tentu saja memicu peperangan bertahun-tahun. Meskipun akhirnya Makassar menderita kekalahan, namun sejarah tetap mengenangnya sebagai peperangan umat Islam melawan orang kafir, seperti terekam dalam Syair Perang Mengkasar, yang di tulis oleh Enci’ Amin, seorang juru tulis Sultan Hasanuddin.
Lima tahun lamanya perang
Sedikit pun tidak hatinya bimbang
Sukacita hati segala hulubalang
Melihat musuh hendak berperang.
Mengkasar sedikit tidak gentar
Ia berperang dengan si Kuffar
Jikalau tidak ra’yatnya lapar
Tambahi lagi Welanda kuffar.[5]
Berbagai peperangan telah mewarnai perjuangan kemerdekaan bangsa kita. Bertumpuk-tumpuk badan menjadi syahid. Bersahut-sahut takbir memanggil. Panggilan yang oleh M. Natsir disebut Panggilan Allahu Akbar. Seperti tercatat dalam Syair Perang Menteng melawan penjajah di Palembang.
Haji berteriak Allahu Akbar
Datang mengamuk tak lagi sabar
Dengan tolong Tuhan Malik Al-Jabbar
Serdadu Menteng habislah bubar[6]
Semua perjuangan itu adalah kehendak untuk merdeka, bebas dari segala penindasan. Bagi para pemimpin kita,segala perjuangan diatas, menjadi inspirasi untuk meneruskan perjuangan. Pun ketika perjuangan beralih ke zaman modern, Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju kemerdekaan.
Sarekat Islam adalah contoh nyata bagaimana Islam dapat menyatukan bangsa ini. Organisasi keagaman seperti Nadhlatul Ulama, diwakili para kiyai telah mendambakan kemerdekaan sebagai jalan untuk kemaslahatan umat Islam. KH Wahab Hasbullah ketika ditanya mengenai kemerdekaan, sehari sebelum NU berdiri tahun 1926, menjawab, ”Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.”[7]
Menurut M. Natsir, ajaran Islamlah yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk merdeka. Ia menyatakan:
“Pada hakikatnya, ajaran Islam itu merupakan suatu revolusi, yaitu revolusi dalam menghapuskan dan menentang tiap-tiap eksploitasi. Apakah eksploitasi itu bernama, kapitalisme, imperialism, kolonialisme komunisme atau fascism, terserah kepada yang hendak memberikan.
Demikianlah semangan kemerdekaan yang hidup dan dibakar dalam jiwa kaum muslimin di Indonesia. Semenjak berabad-abad semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan semangat itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1945 itu.”[8]
Maka tak mengherankan jika para ulama dan tokoh Islam, ketika memiliki kesempatan untuk mewarnai lahirnya Republik Indonesia, mereka memanfaatkannya dengan memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara. Melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter), umat Islam dapat menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia negara merdeka yang bertauhid.
Menurut Buya Hamka, tidak mungkin tauhid dilepaskan dalam perjuangan bernegara. Sebab pangkal pokok pandangan Islam adalah dua kalimat syahadat. Menurut beliau:
“Akibat dua kalimat syahadat itu bagi kehidupan Islam sangat besar dan sangat jauh. Karena kalimat itu, tidaklah ada yang mereka sembah, melainkan Allah. Tidak ada peraturan yang mereka akui, atau undang-undang yang mereka junjung tinggi, melainkan peraturan dan undang-undang dari Allah.”[9]
Namun sayang. Piagam Jakarta tak terlaksana hingga saat ini.Kalimat“Dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” malah dihapuskan. Buya Hamka, sangat menyesalkan peristiwa ini.
“Pendeknya, sesudah sehari maksud berhasil (maksudnya proklamasi kemerdekaan-pen), partner ditinggalkan, dan orang mulai jalan sendiri. Pihak Islam dibujuk dengan janji-janji bahwa kepentingannya akan dijamin. Bersama dengan tujuh kalimat itu, dihapuskkan pulalah kata yang diatas sekali, kata pembukaan yang termasuk kalimat sakti dalam jiwa orang yang hidup dalam Islam, yaitu kalimat, ‘Dengan Nama Allah Tuhan Yang Rahman dan Rahim. Sampai begitunya!”,sesal Buya Hamka.[10]
Kita, generasi saat ini memang patut menyesalkan peristiwa ini. Padahal, dengan kalimat Allahu Akbar-lah, para syuhada merelakan jiwanya untuk melawan penjajah. Kalimat Allahu Akbar-lah ucapan terakhir para pahlawan kita, sebelum nyawa mereka bercerai dari badannya. Dengan kalimat takbirlah, mereka mempertanggungjawabkan jihad mereka dihadapan Allah.
Hingga kini, piagam Jakarta yang disebut undang-undang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan satu kesatuan dengan konstitusi nyatanya hanyalah teks belaka tanpa realisasi nyata. Atas perkara ini, Buya Hamka melemparkan pertanyaan menohok bagi kita.
“Sekarang Indonesia telah merdeka. Merdeka Buat apa?”
“Bagi kita kaum muslimin adalah merdeka buat melakukan syariat Islam, dalam pengakuan dan pangkuan negara, bagi penduduknya yang memeluk Islam.
Sebab menjalankan syariat Allah dan Rasul bagi kita kaum Muslimin adalah bagian dari iman. Sebab dalam ajaran Islam, Islam itu bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat.
Bukan semata-mata ibadat, tetapi mencakup juga bernegara dan bermasyarakat.Percuma jadi orang Islam, percuma mendirikan partai-partai Islam, kalau dengan iman terpotong-potong kita hendak tampil ke muka.
Negara kita berdasar Pancasila; dalam negara berdasar Pancasila itu, kita kaum muslimin wajib mengisinya dengan cinta yang telah kita terima dari langsung dari Allah dan Rasul.
Namun tidak!-demi Tuhanmu-tidaklah mereka beriman, sebelum engkau jadikan hakim, pada barang yang mereka perselisihkan diantara mereka, kemudian itu tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri rasa keberatan pada apa yang engkau putuskan, dan mereka menyerah sebenar-benar menyerah.
Itulah dia iman, dan itulah dia hidup.
Kalau tidak, sama dengan artinya mati, walaupun nafas masih turun naik.”[11]
Lantas jika begini, apakah arti kemerdekaan bagi kita? Agaknya penulis sepakat, sekali lagi, dengan [12]Buya Hamka,
“Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.”
Sumber:
[1] Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara
[2] Amran,Rusli. (1981). Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
[3] Carey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan.Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[4] Sewang, Ahmad M. 2005.Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai abad XVII. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
[5] Amin, Enci’. (2008). Syair Perang Mengkasar, C. Skinner (ed). Makassar: Ininnawa.
[6] Alfian, Ibrahim. (1992). Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka.
[7] Feillard, Andree. (1999). NU Vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.Yogyakarta : LKiS.
[8] Natsir, M. (2008). Revolusi Indonesia dalam Capita Selecta Jilid 2. Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Capita Selecta.
[9] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[10] Ibid
[11] Hamka. (2002). Cintakan Rasul SAW dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[12] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.