Oleh: Ust.Thoha Mahsun, Ketua Yayasan Bina Muslim Purwakarta
ALKISAH, Perjanjian Hudaibiyyah sudah diketok palu. Final. Deal antara kaum muslimin dan kaum musyrikin sudah berlaku. Sebagian besr pengikut Rasulullah terdiam. Heran dan juga mungkin kecewa. Pun seolah tak percaya.
Dalam pandangan mereka, bagaimana bisa isi perjanjian yang sangat merugikan kaum muslimin itu disetujui oleh Rasul? Adalah Umar bin Khattab yang merasa terganggu karena itu. Ia mendatangi Abu Bakar. Umar bertanya, “Apakah benar kita ini kaum muslimin?”. Jawab Abu Bakar, “Benar!”. Umar bertanya lagi, “Apakah benar mereka kaum musyrikin?”. Jawab Abu Bakar, “Benar!”. Umar tidak puas, “Apakah benar Muhammad itu Rasul Allah?”. Abu Bakar menatap Umar dengan nanar dan tegas. Kemudian dengan suara yang tidak berubah, ia menjawab, “Benar. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan tiada tuhan selain Allah.”
Mendapat jawaban itu, Umar makin gundah. Ia menghadap Rasulullah dan mengajukan pertanyaan sama persis seperti yang dilontarkannya kepada Abu Bakar. Jawaban Rasul, “Benar. Aku adalah utusan Allah dan Allah adalah tuhanku.”
BACA JUGA:Â Berani Taat
Kali ini Umar terhenyak. Ia langsung menggigil. Sejak saat itu ia semakin memperbanyak salat, sedekah, tilawah, qiyamullail, dan amalan ruhiyah lainnya. “Aku merasa telah menyakiti Rasulullah dengan pertanyaanku. Aku khawatir, ia sakit hati karenanya.”
Sesaat setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar menaikkan seorang pemuda berusia 17 tahun ke atas pelana kuda. Ia adalah Usamah bin Zaid. Semua sahabat yang lain merasa heran atas tindakan Abu Bakar tersebut. Pasalnya, Usamah diminta untuk menjadi panglima perang. Padahal masih ada yang lain yang lebih kuat dan lebih tua, serta lebih matang dan berpengalaman? Abu Bakar berkata tegas. “Ini amanat dan keputusan almarhum Rasul. Anak muda ini sudah diangkat Rasul untuk memimpin perang. Jika karena hanya kematian Muhammad, aku tidak melaksanakan perintahnya, maka aku—dan juga kalian semua—adalah orang-orang yang tidak taat!”
Di lain tempat di bumi ini, dalam kurun waktu jauh setelah Perjanjian Hudaibiyyah dan pengangkatan Usamah bin Zaid pasca meninggalnya Rasulullah, sebuah kendaraan roda empat melaju. Hujan rintik-rintik membuat jalan agak licin. Maklum jalan belum dihotmix. Kondisi mobil oleng ke kanan-kiri. Di pinggiran jalan banyak pepohonan. Penumpang, dengan kondisi itu, jelas menjadi sangat was-was. Melihat gelagat itu, dengan penuh hati-hati sopir mengingatkan penumpang di belakangnya. “Bapak-bapak,Ibu-ibu …., tenang saja di tempat duduk masing-masing! InsyaAllah kita akan selamat.”
Toh dengan pernyataan itu, penumpang tidak juga merasa aman. Tidak menyangka rupanya ada salah seorang penumpang—karena merasa sebagai pelatih bela diri—tiba-tiba lompat jendela untuk menyelamatkan diri ketika kendaraan mengalami kritis. Berhasil keluar. Kendaraan itu benar-benar mengalami kecelakaan. Jungkir balik beberapa kali. Kaca-kaca hancur. Para penumpang tertutupi oleh pecahan kaca. Setelah dievakuasi, ternyata yang korban meninggal hanya satu, yaitu pelatih bela diri itu sendiri. Pasalnya sederhana, yaitu ia tertimpa mobil yang jungkir balik ketika setelah meloncat. Seluruh penumpang yang ada di dalam kendaraan selamat.
Dalam proses saling terkait antara ijtihad dan taat. Keduanya saling melengkapi. Yang membedakan adalah ketika proses keduanya berjalan. Ijtihad lebih awal dari ketaatan. Keduanya aksiomatis. Setiap ahli syura bebas menyampaikan ijtihadnya. Benar atau salah. Ketika syura sudah memutuskan, maka taat kepada hasil keputusan syura adalah mutlak. Suka atau tidak suka. Merugikan diri sendiri atau tidak. Risiko hasil keputusan ditanggung bersama, dan sesudah itu tidak ada lagi ijtihad perorangan. Walaupun secara individu punya kemampuan dan peluang menyalahi keputusan syura. Apa arti berkelompok—dalam bahasa yang lebih terang, berjamaah—gerangan jika kemudian mengambil sebagian yang lain dan meniolak sebagian yang lainnya?
Tiga kisah di atas sekadar ilustrasi hikmah sebuah ketaatan. Sekiranya pelatih bela diri itu selamat, tetap saja dia salah. Karena penumpang lompat jendela adalah sebuah kesalahan. Dan mungkin jika hanya dia saja yang tersisa hidup, secara psikologis akan trauma. Atau boleh jadi dia akan sombong dan berkata dalam hatinya “Untung saya lompat jendela. Coba kalau yang lain ikuti saya. Lihat hasilnya.”
Tetap keukeuh-nya Abu Bakar untuk memberangkatkan Usamah bin Zaid mempimpin perang memperlihatkan sebuah dimensi ketaatan yang tidak terkungkung oleh waktu dan sosok atau figur. Abu Bakar sama sekali tidak terpengaruh dengan meninggalnya Rasul sehingga harus mengubah kebijakan dan atau menelikung keputusan yang telah diambil Rasul. Kasus Umar lebih dahsyat.
BACA JUGA:Â Pinta Allah Hanya Satu: “Taat”
Kekecewaan dan kegelisahaan memang mesti disampaikan kepada Rasul, tapi Umar sepenuhnya kemudian menghormati dan taat atas hasil Perjanjian Hudaibiyyah yang tentunya melalui syuro internal dahulu. Ketaatan sebuah tatanan merupakan keniscayaan.
Bayangkan! Andaikata di dunia ini sudah tidak ada lagi ketaatan. Anak tidak lagi taat kepada orang tuanya. murid tidak taat pada gurunya.Pembantu kepada majikannya.Karyawan tidak lagi taat pada atasannya. Demikian pula dalam sebuah organisasi. Sangat berbahaya jika tidak ada lagi ketaatan. Dan hidup tidaklah teratur. Karena ketidaktaatan, kita sudah melihat banyak hasil dan risikonya. Iblis diusir oleh Allah katena tidak taat perintah. Tentara Thalut tidak bisa melanjutkan peperangan. “Kekalahan” Perang Uhud karena pasukan pemanah tidak taat nasihat Rasul saw, sedangkan bukan tentara namanya tanpa ketaatan apapun pangkat dan jabatannya.
Ingatalah ungkapan Umar bin Khathab ra; La Islama illa bil jama’ah wala jama’ata illa bil imarah wala imarata illa biththa’ah. “Tidak sempurna Islam tanpa jama’ah. Tidak sempurna jama’ah tanpa pemimpin. Dan tidak ada artinya pemimpin tanpa ketaatan”. []