“Pokoknya Papa mau kamu sekolah di SMP dan SMA negeri ternama, agar kamu bisa bersaing masuk Perguruan Tinggi Ternama pula,” seru sang Papa.
“Mama mau kamu sekolah di sekolah swasta yang kurikulumnya berdasar tahap perkembangan, Mama cocok dengan sekolah itu, mama berharap kamu bahagia belajar,” kata Mama kepada anaknya.
Anaknya bingung. Mau ikut yang mana. Papa memaksa, “Kamu harus dengar Papa, kamu harus masuk sekolah favorit supaya nilai kamu bagus, nanti kamu bisa bersaing.”
Kasus seperti ini sering terjadi. Nilai tinggi seolah menjadi satu satunya indikator seorang anak bisa hidup sukses. Orangtua sering “keukeuh” memaksa anak agar unggul meraih nilai tinggi, mampu bersaing dengan orang lain. Berbagai cara ditempuh, les ini itu, setiap bicara yang ditanya nilai dan nilai.
“Matematika kamu dapat nilai berapa? Fisika gimana? Kalau kurang nilainya kamu harus ikut bimbel,” tanyanya. Jika anak sudah jawab, “Nilai aku 9, Pak,” atau “Aku nilai 8, besok aku masuk bimbel, Pak.”
Rasanya tuntas sudah tugas jadi orangtua.
Ya, cukup bertanya nilai, jika tinggi maka berkata, “Siapa dulu papanya, kamu kan anak Papa”, jika nilai jelek, beri uang agar bimbel supaya nilai bagus, tugas jadi orangtua serasa sudah lulus.
Sukses tentu berbeda beda definisinya bagi setiap orang. Jika sukses adalah mampu bersaing, maka orangtua akan terus mendrill anaknya agar selalu berkompetisi dengan siapapun, kapanpun dan dimanapun. Orangtua tanpa sadar sudah mengalirkan kepada anaknya bahwa sukses itu bisa mengalahkan oranglain. Maka, jangan heran jika di sekolah, di kantor, di lingkungan lainnya banyak orang ingin dipandang sukses dengan menghalalkan berbagai cara. Sikut sana sini agar dapat promosi, bahkan sampai bisa berlaku korupsi hanya untuk mendapat julukan “Orang Sukses”.
Namun, jika sukses adalah menjadi sebaik baik manusia, yang bermanfaat untuk manusia lain tentu akan memeperlakukan anak berbeda. Apapun adanya anak akan diterima, kemudian mengevaluasi diri sudah sejauh mana jadi orangtua terbaik bagi mereka. Berikutnya membangun anak agar bisa hidup empati dan mampu bekerja sama. Jika anak kurang maka selalu apresiasi yang lebihnya kemudian naikan tahapan yang kurangnya. Jika anak lebih, tak berlebihan memuji muji, cukup ucap Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah. Anak bahagia dengan segala kondisi yang ada.
Saat dewasa ia akan berempati pada lingkungannya, mampu bekerja sama dengan siapapun dan kapanpun, menghargai perbedaaan dan menghindari perdebatan, sayang sesama juga seluruh alam.
Sukses bermanfaat untuk ummat dalam setiap bidang keahlian yang dimilikinya. Mereka adalah anak-anak yang bahagia. []