BUAH pikiran bisa dipetik dengan tiga cara: Tidak mengumbar harapan, menyimak Al-Qur’an, dan meninggalkan lima perkara yang merusak hati:
Tidak banyak bergaul, tidak mengumbar angan-angan, tidak bergantung kepada selain Allah dan mengurangi makan serta sedikit tidur. Karena ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dari tadzakkur, maka kami akan mengupasnya dengan porsi yang lebih banyak.
Tidak mengumbar harapan artinya menyadari tentang dekatnya perjalanan dan begitu singkatnya tempo kehidupan. Ini merupakan perkara yang paling bermanfaat bagi hati, karena yang demikian ini bisa mendorong seorang hamba untuk mengefektifkan waktu yang terus berlalu.
Sehingga segera membalik lembaran-lembaran hidupnya, menggugah hasratnya kepada akhirat, mendorongnya untuk segera menyentuh garis finish dan berzuhud di dunia, pandangannya hanya tertuju ke akhirat.
BACA JUGA:Â Bertafakkur pada Air
Dengan begitu di dalam hatinya ada kesaksian yang memberi keyakinan tentang dunia yang fana dan begitu cepat ia berlalu serta tertinggal di belakang. Di hadapannya terpampang akhirat yang kekal dan semua akan menuju ke sana. Sebagai bukti agar harapan ini tidak diumbar adalah firman Allah,
“Dan (ingatlah) akan hari (yang pada waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa pada hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari (pada waktu itu) mereka saling berkenalan,” (QS Yunus: 45).
“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakanakan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi har,.” (QS An-Nazi’at: 46).
Pada suatu sore ketika matahari berada di pucuk bukit, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berpidato di hadapan para shahabat,
“Sesungguhnya tidak ada yang menyisa dari dunia yang sudah berlalu melainkan seperti apa yang menyisa dari hari kalian yang sudah berlalu ini.”
Ketika beliau sedang melewati sebagian shahabat yang sedang memperbaiki gubuk mereka yang sudah reyot, maka beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Kami sedang memperbaiki gubuk milik kami.”
Beliau bersabda, “Aku tidak melihat urusan hidup ini melainkan lebih cepat rusaknya daripada gubuk kalian ini.”
Pertama, tidak mengumbar harapan ini didasarkan pada dua hal: Pertama, meyakini kefanaan dunia dan perpisahan dengannya. Kedua, kekekalan akhirat dan kepastian bersua dengannya. Kemudian dua perkara ini dibandingkan, dan tentukan mana yang lebih dipentingkan.
Kedua, menyimak Al-Qur’an artinya memusatkan perhatian hati ke makna-maknanya, memusatkan pikiran untuk mengamati dan memikirkannya.
Inilah maksud diturunkannya Al-Qur’an, dan bukan sekedar membacanya tanpa pemahaman, pendalaman dan perhatian. Firman-Nya,
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan barakah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran, “(QS Shad: 29).
Al-Hasan berkata, “Al-Qur’an diturunkan agar diperhatikan dandiamalkan. Maka amalkanlah apa yang kalian baca.”
BACA JUGA:Â Membaca Alquran dalam Hati, Bagaimana Ketentuannya?
Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba di dunia dan di akhirat serta yang lebih dekat dengan keselamatannya selain dari mendalami dan memperhatikan Al-Qur’an serta memikirkan makna ayat-ayatnya.
Karena makna-makna ini akan menunjukkan tanda-tanda kebaikan dan keburukan dengan segala hiasannya, menunjukkan jalan, sebab dan buah kebaikan dan keburukan, menyodorkan kunci-kunci simpanan kebahagiaan dan ilmu yang bermanfaat.
Selain itu akan meneguhkan sendi-sendi iman di dalam hati, mengokohkan bangunannya, memperlihatkan gambaran dunia dan akhirat, surga dan neraka, memperlihatkan keadaan berbagai umat, keadilan Allah dan karunia-Nya, Dzat, sifat, asma dan perbuatan-Nya, apa-apa yang dicintai dan dibenci-Nya.
Menunjukkan jalan yang menghantarkan kepada-Nya, penghambat-penghambat jalan dan ujian-Nya, memperlihatkan tingkatan-tingkatan orang yang berbahagia dan menderita, macam-macam manusia dan golongannya. Secara umum makna-makna Al-Qur’an ini memperkenalkan Allah yang diseru dan jalan yang menghantarkan kepada-Nya.
Kebalikan dari hal-hal di atas, makna-makna Al-Qur’an juga menunjukkan apa yang diserukan syetan, jalan yang menghantarkan kepada-nya, dan akibat yang bakal diterima orang yang memenuhi seruan ini, berupa kehinaan dan siksaan setelah dia sampai kepadanya.
Inilah perkara-perkara yang perlu diperhatikan hamba, agar dia bisa mengetahui akhirat seakan-akan dia berada di sana dan tidak lagi berada di dunia ini, bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil dalam perkara-perkara yang diperselisihkan.
Sehingga yang haq benar-benar haq dan yang batil benar-benar batil, memberinya cahaya untuk membedakan petunjuk dan kesesatan, jalan lurus dan jalan menyimpang, memberikan kekuatan di dalam hati, kehidupan, kelapangan dan kegembiraan.
Makna-makna Al-Qur’an berkisar pada masalah tauhid dan penjelasan-penjelasannya, ilmu tentang Allah dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, sifat-sifat kekurangan yang dijauhkan dari-Nya, pengenalan hak-hak hamba dan hak-hak yang mengutus mereka.
Iman kepada malaikat yang merupakan utusan Allah dalam menangani urusan alam atas dan alam bawah, khususnya segala urusan manusia, apa yang telah disiapkan Allah bagi musuh-musuh-Nya, berupa kampung siksaan, yang di dalam-nya sama sekali tidak ada kegembiraaan dan kesenangan.
Rincian perintah dan larangan, syariat dan qadar, halal dan haram, nasihat dan peri-ngatan, kisah-kisah dan permisalan, sebab-sebab, hukum, prinsip, tujuan dan lain-lainnya.
Ketiga, adapun lima perkara yang merusak hati adalah: Banyak bergaul dengan manusia, mengumbar harapan, bergantung kepada selain Allah, kenyang dan banyak tidur.
Ketahuilah bahwa hati itu dalam perjalanan kepada Allah Azza wa Jalla dan kampung akhirat. Jalan yang benar sudah ditunjukkan, begitu pula ujian jiwa dan amal, penghambat-penghambat jalan yang dapat disingkirkan dengan cahaya, kehidupan dan kekuatannya, dengan kesehatan pendengaran dan penglihatannya.
Lima perkara inilah yang akan memadamkan cahaya hati, menutupi penglihatan dan menyumbat pendengarannya, membuatnya bisu dan tuli, melemahkan kekuatannya, menggerogoti kesehatannya dan menghentikan tekadnya.
Siapa yang tidak merasakan semua ini, berarti hatinya mati. Sementara luka pada orang yang sudah mati tidak membuatnya kesakitan.
Tidak ada kenikmatan, kelezatan, kesenangan dan kesempurnaan kecuali dengan mengetahui Allah dan mencintai-Nya, merasa tentram saat menyebut-Nya, senang berdekatan dengan-Nya dan rindu bersua dengan-Nya.
BACA JUGA:Â Ilmu Lenyap karena Tidak Diamalkan
Inilah surga dunia baginya, sebagaimana dia tahu bahwa kenikmatannya yang hakiki adalah kenikmatan di akhirat dan di surga.
Dengan begitu dia mempunyai dua surga. Surga yang kedua tidak dimasuki sebelum dia memasuki surga yang pertama.
Kami pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga, siapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memasuki surga di akhirat.”
Sebagian orang arif berkata, “Hari-hari telah berlalu dan dapat dirasakan hati. Maka saya katakan, ‘Jika para penghuni surga seperti ini keadaannya, tentunya mereka benar-benar dalam kehidupan yang sangat menyenangkan’.”
Sebagian yang lain berkata, “Para penghuni dunia yang celaka keluar dari dunia tanpa merasakan kenikmatan sedikit pun yang ada di dalamnya.”
Orang-orang bertanya, “Lalu apakah yang paling nikmat di dunia?” Dia menjawab, “Mencintai Allah, bersama-Nya, kerinduan bersua dengan-Nya, menghadap kepada-Nya dan berpaling dari hal-hal selain-Nya.” []
Referensi: E-book Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah)/Ibnu Qayyim Al-Jauziyah/Pustaka Al-Kautsar/1999