MAJUSI dikenal sebagai sebuah ajaran yang menyembah api sebagai Tuhan. Majusi merupakan ajaran masyarakat Persia zaman dulu – Iran pada masa kini-. Meskipun Majusi kini dikenal sebagai sebuah agama, namun dalam catatan Herodotus, seorang sejarawan Yunani kuno, Majusi disebutkan olehnya sebagai salah suku pada masa Median (zaman besi [1200 SM]) di Persia.
Lebih jauh Herodotus menggambarkan Majusi sebagai sebuah suku dengan adat istiadat khusus seperti memamerkan mayat, berperang dengan siluman, dan menafsirkan mimpi.
Akar kata Majusi sebenarnya berasal dari kata Magoi, namun dilatinkan oleh Herodotus menjadi Magi atau dalam bentuk pluralnya menjadi Magus/Majusi. Bahkan kata magic dalam bahasa Inggris yang berarti “sihir” atau “sulap” diambil dari sini.
BACA JUGA: Peristiwa Ketika Nabi Lahir; Berhala di Ka’bah Hancur, Api Majusi Padam
Orang-orang Majusi mencapai derajat kependetaan dan sehingga dikenal sebagai sebuah agama hanya baru pada abad ke-4 SM. Pada masa ini pula mereka mulai dikait-kaitkan dengan ajaran Zoroastrianisme, di mana mereka memonopoli hak sebagai kaum yang memiliki otoritas keagamaan di wilayah tersebut.
Namun apabila dilacak lebih ke belakang, koneksi sejarah antara orang-orang Majusi dengan Zarathustra (Nabi pendiri agama Zoroastrianisme) sebenarnya tidak pernah terungkap.
Di era Dinasti Sasaniyah -kekaisaran terakhir dari Persia yang telah menganut agama Zoroastrianisme lebih dari seribu tahun- orang-orang Majusi mencapai posisi yang lebih tinggi lagi, mereka diberi hirarki istimewa. Pemimpin spiritual mereka disebut dengan Magupat, dan pemimpin spiritual tertingginya diberi gelar Magupatan Magupat (magupat-nya para magupat, mirip dengan konsep raja Persia yang disebut dengan Shahshanah atau “Rajanya para raja”).
Kuil-kuil Majusi didirikan di banyak tempat dengan api suci sebagai simbol pemujaan terhadap leluhur mereka. Namun belakangan, makna api berubah menjadi simbol persatuan antara kerajaaan dengan agama. Api ini dipastikan mesti abadi, dalam artian tidak pernah boleh padam.
Seorang petugas khusus dipercaya untuk terus menjaga nyalanya api, dan bahan bakarnya mesti diisi paling tidak lima kali dalam sehari. Para pemuja juga menyembahnya lima kali dalam sehari. Pada masa inilah citra orang-orang Majusi semakin melekat dengan Zoroastrianisme, yang mana menjadi agama resmi Dinasti Sasaniyah.
Dalam tradisi Islam, api abadi Kaum Majusi diriwayatkan padam setelah selama seribu tahun selalu menyala: “Ketika itu adalah malam di mana Rasulullah lahir, Aywan Kisra (istana raja Persia) diguncang dan empat belas puncaknya rubuh; api (suci) Fars, yang sebelumnya tidak pernah padam selama seribu tahun, padam…”
Ardashir (Artaxerxes) putra Babak, pendiri Dinasti Sasaniyah, adalah putra seorang pendeta Zoroastrianisme dan menggapai tahta dengan bantuan para agamawan Zoroastrianisme. Dia kemudian menggunakan segala cara untuk mempropagandakan agama nenek moyangnya di Persia.
Di masa Dinasti Sasaniyah, agama resmi maupun agama rakyat Persia adalah Zoroastrianisme, dan karena pemerintahan Sasaniyah didirikan dengan bantuan para pendeta maka kalangan pendeta mendapat segala dukungan dari istana.
Akibatnya, para pemuka Zoroastrianisme mendapatkan kekuatan besar di Persia dan menikmati kedudukan sebagai kelas yang paling berkuasa dalam negara. Para penguasa Sasaniyah hanya merupakan satelit dari para pendeta, apabila seorang penguasa tak menaati kaum agamawan maka Mereka akan menghadapi perlawanan keras yang berakibat fatal.
Karena itu, raja-raja Sasaniyah lebih memperhatikan kaum pendeta ini ketimbang kaum lainnya. Di sisi lain, karena mendapat dukungan dari Dinasti Sasaniyah maka jumlah pendeta terus bertambah.
Dinasti Sasaniyah banyak menggunakan kaum agamawan untuk memperkuat imperiumnya. Mereka mendirikan banyak kuil api di setiap sudut dan pelosok wilayah kekuasaan Persia, dan di setiap kuilnya mereka menempatkan sejumlah besar pendeta.
Dengan keberadaan para pendeta yang memiliki kekuasaan tak terbatas dan telah melakukan penindasan kepada rakyat secara sistematis dan struktural, pada gilirannya membuat rakyat merindukan agama lain yang mereka anggap bukan berasal dari kalangan aristokrat. Kemudian muncullah agama Mani (perpaduan Kristen dan Zoroastrianisme) dan agama Mazdak yang mendapat sambutan baik dari rakyat Persia.
Masuk pada masa Raja Kisra II (Abarwiz) – yang mana merupakan masa-masa akhir dinasti ini dan Nabi Muhammad saw hidup pada masa ini – dia membangun sebuah kuil api dan menempatkan 12.000 pendeta di dalamnya untuk menyanyikan lagu-lagu pujaan dan berdoa.
Agama Zoroastrianisme telah kehilangan segala realitasnya pada saat-saat terakhir Dinasti Sasaniyah. Api telah diberi label kesucian sedemikian besarnya sehingga menempa besi panas, yang berarti memanfaatkan sifat api, dianggap melanggar hukum.
Kebanyakan prinsip dan kepercayaan Zoroastrianisme telah dibangun berdasarkan takhayul dan dongeng. Pada masa ini, realitas agama Zoroastrianisme telah terjerumus ke dalam berbagai upacara sia-sia, membosankan, dan tak masuk akal.
BACA JUGA: Surat Kaisar Cina pada Kisra Persia tentang Umat Islam
Formalitas-formalitasnya terus diperluas oleh para pendeta untuk memperbesar kekuasaan mereka sendiri. Berbagai dongeng dan takhayul pandir telah memasuki agama ini sedemikian jauh sehingga beberapa kaum agamawan juga akhirnya tidak menyenanginya.
Ditambah dengan kemunculan agama Kristen dan agama-agama lain serta pemikiran Yunani dan India membuat kepercayaan Zoroastrianisme semakin terjepit. Hingga rakyat pun menyesali takhayul-takhayul dan anggapan sia-sia yang tak berdasar dari agama Zoroastrianisme.
Akhirnya, kehancuran yang muncul di kalangan kaum agamawan Zoroastrianisme, berikut takhayul serta dongeng-dongeng pandir yang telah memasuki agama itu, menjadi penyebab perselisihan dan perpecahan dalam keyakinan dan pandangan bangsa Persia. []
SUMBER: GANA ISLAMIKA