MUNCULNYA istilah hari minggu dimulai dari seorang pendeta Nashrani di zaman Belanda yang selalu memberikan kothbah gereja pada hari Ahad.
Pendeta tersebut bernama “Santo Da Minggoes”. Ia seorang portugis.
Karena siasat dan upaya keras sosok pendeta Santo Da Minggoes megawali dan membudayakan ritual ke-Kristenan di hari Ahad, sekaligus sebagai penghormatan dan peringatan ummat Nashrani kepadanya, maka ummat Kristen di Indonesia berusaha keras mengganti istilah hari Ahad menjadi hari Minggu.
Melihat kedepan istilah ini sangat penting dan strategis sebagai wujud besarnya eksistensi ke-kristenan di Indonesia, maka organisasi gereja dan nasrani berupaya keras untuk mensiasati dan menggeser-menggusur istilah Islam (hari Ahad) yang telah lama terpatri dalam khasanah perbendaharaan kata di Indonesia menjadi istilah ke kristenan pada tingkat Nasional dengan mengganti istilah kata hari Ahad dengan menyebutkanya dengan kata hari Minggu.
Dalam kenyataanya proses sosialisasi dan penggusuran kata hari Ahad menjadi hari minggu tersebut sangat halus serta sukses dan bahkan menjadi sebutan keseharian kita saat ini.
Kata Ahad sangat bermakna dan strategis di dalam nama-nama hari dan tidak dapat dipisahkan dengan nama enam hari berikutnya yang sudah baku.
Apabila selama ini kita menyebut 7 hari dalam sebulan dengan ‘seminggu’, maka yang sangat baik dan benar dalam bahasa indonesia adalah Sepekan.
Sebutan ‘minggu ini’ harus diganti dengan ‘Ahad ini’, ‘minggu depan’ dengan ‘Ahad depan’.
Bukti cinta kita kepada Islam dan bangsa Indonesia, adalah menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar agar generasi Islam bangsa Indonesia kedepan menjadi generasi yang berharkat martabat, terhormat dan santun. []
Sumber: Makalah Prof. DR. M. Abdurrahman, MA yang dikutip dari laman Persis.or.id