KEDUDUKAN manusia di muka bumi ini berbeda-beda. Tergantung dari segi mana kita mengukurnya. Salah satu yang biasa dijadikan ukuran ialah dari segi harta.
Dari situ, dapat diketahui kedudukan manusia ada yang tinggi, sedang dan rendah. Dalam hal ini, ketiga kedudukan itu bisa saling melengkapi.
Seperti halnya adanya ar-riqq (perbudakan). Di mana, seseorang yang berkedudukan rendah berada di bawah penguasaan sedang atau tinggi.
Seorang budak membantu meringankan pekerjaan atasannya yang memiliki kedudukan tinggi atau sedang dalam harta. Dan ia pun memiliki upah dari hasil jeri payahnya itu. Lantas, seperti apa sejarah dan asal-usul perbudakan ini bisa terjadi?
BACA JUGA: Ketika Budak Bernama Barirah Memberi Rasulullah Makanan “Haram”
Ar-Riqq telah dikenal manusia sejak beribu-ribu tahun yang silam dan dijumpai di bangsa-bangsa kuno seperti bangsa Mesir, bangsa Cina, orang-orang Hindu, orang-orang Yunani, dan orang-orang Romawi.
Serta disebutkan dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat dan Injil. Hajar, ibunda Nabi Ismail Alaihis Salam, tadinya adalah budak wanita yang dihadiahkan raja Mesir kepada Sarah.
Kemudian Sarah mengambilnya dan memberikan kepada suaminya, Ibrahim Alaihis Salam. Yang kemudian menjadikannya sebagai istri dan melahirkan Nabi Ismail untuknya.
Adapun asal-usul ar-riqq, maka karena sebab-sebab berikut:
1. Perang. Jika sekelompok manusia memerangi kelompok lainnya dan berhasil mengalahkannya, mereka menjadikan istri-istri dan anak-anak mereka (musuh yang diperangi) sebagai budak.
2. Kemiskinan. Seringkali kemiskinan membuat manusia menjual anak-anaknya sebagai budak kepada orang-orang lain.
3. Pencurian dan pembajakan. Dulu, rombongan besar orang-orang Eropa singgah di Afrika dan menangkap orang-orang Negro kemudian menjual mereka di pasar-pasar budak Eropa.
Selain itu, para pembajak laut Eropa juga membajak kapal-kapal yang melewati laut dan menyerang para penumpangnya.
Jika mereka berhasil mengalahkan para penumpang tersebut, mereka menjualnya di pasar-pasar budak di Eropa dan memakan hasil penjualannya.
Dan Islam sebagai agama Allah yang benar tidak membenarkan sebab-sebab di atas kecuali satu sebab, yaitu perbudakan karena perang dan itu adalah rahmat untuk manusia.
BACA JUGA: Benarkah Perbudakan Perempuan Telah Punah?
Kebanyakan para pemenang perang terdorong berbuat kerusakan karena pengaruh dorongan balas dendam, kemudian mereka membunuh wanita-wanita dan anak-anak untuk mengobati kebencian mereka terhadap laki-laki, wanita-wanita dan anak-anak tersebut.
Islam mengizinkan para pemeluknya memperbudak wanita-wanita dan anak-anak pertama-tama untuk menjaga kelangsungan kehidupan mereka. Kemudian, kedua untuk membahagiakan mereka dan memerdekakan mereka.
Adapun tentara laki-laki, maka pemimpin bebas antara membebaskan mereka secara gratis atau membebaskan mereka dengan tebusan uang atau senjata.
Allah Ta’ala berfirman, “Apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka, sehingga apabila kalian telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti,” (QS. Muhammad: 4). []
Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah