KETIKA Sulaiman pertama kali mendengar suara adzan di Bahrain dalam sebuah perjalanan, ia merasakan sebuah keindahan. Sulaiman pun bertanya-tanya apa makna kata-kata tersebut. Orang-orang pun memberitahunya. Namun sejauh itu, semua hanya informasi. “Yang terasa bagi saya dalam perjalan itu hanya sekadar turisme,” tuturnya.
Dari Bahrain, ia menuju Shorjah, lalu Irak, akhirnya sampai di Turki. Di sini, ia menemukan sesuatu yang berbeda. “Itu bukan berarti Islam terlihat lebih baik dan lebih agung di Turki, tidak sama sekali. Faktanya, secara menyedihkan Islam di Turki ditekan dalam banyak aspek,” ungkapnya.
Saat berada di negara itu, Sulaiman menemukan banyak hal luar biasa, salah satunya arsitektur Islam dari periode Ottoman yang ia anggap sangat indah. “Tak butuh waktu lama hingga saya bisa mengenal orang-orang di Turki dengan baik,” tuturnya.
Lalu tibalah Ramadhan. Ia pernah mengalaminya berulang kali di Teluk namun lewat begitu saja, tak ada yang berkesan. Tapi di Turki, Sulaiman merasakan hal berbeda. “Saya merasakan sesuatu yang lain. Segera saya sadari bahwa mereka yang berpuasa saat Ramadhan adalah orang-orang yang saya kenal dan saya sukai.”
Saat itu ia melihat ada hubungan gamblang antara orang-orang terbaik dengan orang yang berpuasa. “Ini menunjukkan pada saya sebagian dari Muslim terbaik dan saya pun tertarik dengan mereka.”
Sulaiman tak sekadar tertarik ikut dengan aktivitas mereka. Ia pun mulai berpuasa saat Ramadhan meski saat itu ia bukanlah Muslim. “Sungguh membahagiakan di banyak hal, memang sangat menantang di sisi lain, namun sangat menyenangkan,” tuturnya.
Sulaiman mengaku menikmati puasa. “Terutama di saat menunggu Adhzan Maghrib dan ketika menunggu dengan diam dan tenang bersama orang-orang lain yang berpuasa sepanjang hari,” akunya.
Mereka, meski berpuasa tetap bekerja karena seperti negara bermayoritas Muslim lain, di Turki pun aktivitas publik dan pekerjaan terus berjalan. Kenyataan itu memikat Sulaiman, orang-orang berpuasa sepenuhnya dari awal hari hingga senja dan tetap bekerja sepanjang hari.
“Saya juga melakukan itu dan sangat sulit, namun alhamdulillah saya berhasil,” ungkapnya. Ia pun terkesan dan merasa melakukan prestasi besar. “Pengalaman itu menginspirasi saya untuk lebih banyak mengkaji Islam,” ujarnya.
Sulaiman mulai membaca Al Qur’an, dan biografi Rasul, kisah kehidupan Nabi Muhammad yang ternyata sungguh menginspirasinya. “Ini sangat menarik karena pria ini adalah seseorang yang besar dalam sejarah dan itu fakta. Sesuatu yang bisa saya hubungkan dengan ketertarikan Barat terhadap logika,” ujarnya.
Sulaiman terus mengikuti kata hatinya yang kian cenderung pada Islam. “Namun masih belum ada orang yang melakukan dakwah serius kepada saya, tak seorangpun mencoba meyakinkan saya bahwa saya harus berganti jalan menuju jalan lain,” ujarnya.
Setelah kembali dari Turki ke Dubai, Sulaiman bekerja dengan seseorang yang—menurutnya—Istimewa. “Orang ini yang dulu adalah bos saya kini menjadi sahabat terbaik saya,” ujarnya.
“Malam seusai kerja kami berdiskusi sambil makan malam. Mungkin juga ketika saat di kantor. Ia akan membantu saya mempelajari hal-hal yang benar dan mengajak saya bertemu orang-orang yang tepat. Ia juga mencoba menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan saya sebaik yang ia bisa,” tutur Sulaiman.
Namun, si kawan masih bisa melihat semua keberatan Sulaiman terutama berkaitan dengan logika. “Semua pertanyaan tentang adat dan praktik-praktik ibadah, semua ini keluar dari bawaan sekuler,” ungkapnya. Sulaimen mengaku tak pernah benar-benar menjadi seorang Kristen. “Saya hanyalah orang yang agnostik—percaya tuhan tapi tidak percaya agama.”
Sulaiman tak akan pernah melupakan ketika ia masuk Islam. Beberapa orang Eropa merubunginya. Semuanya Muslim. “Mereka sangat berpendidikan, bijak dan pengkaji Islam yang beralih menjadi Muslim sekitar 10 atau 20 tahun sebelumnya. Pengetahuan mereka tentang Islam, sangat besar. Hingga kini mereka masih melakukan dakwah di penjuru dunia,” tuturnya.
Saat itu Rabu malah di tengah pekan tepat pukul 1.00 dini hari. Mereka berkata pada Sulaiman. “Jadi apakah kamu masih memiliki pertanyaan lagi?”
“Tidak…saya tak punya, saya sudah kehabisan pertanyaan,” balas Sulaiman. Merka balik merespon “Kini apa, apakah anda akan menerima Islam?”
“Apa yang bisa saya katakan, saat itu saya hanya bisa menjawab ‘Ya’,” kata Sulaiman menuturkan situasi malam itu.
Mereka pun mengundang Sulaiman datang ke rumah pada Jumat berikut, dua hari lagi. Saat tiba di sana, rumah dalam kondisi dipersiapkan sangat baik. “Mereka memberi saya pelajaran dan anjuran terakhir, hal-hal yang perlu saya ketahui tentang shalat, wudhu, dan kami pun pergi ke Masjid Jumairah di mana saya mengucapkan syahadat,” kenang Sulaiman.
Pengalaman berharga yang saat itu ia terima, segera saja ia memiliki ribuan saudara. Mereka memeluk Sulaiman dan bahagia. “Saya tak pernah melihat begitu banyak wajah bahagia, tidak, tak saat di pesta ulang tahun saya, tidak saat perkumpulan Kristen juga dalam pertemuan lain, Di sini banyak orang bahagia dan mereka semua bahagia untuk saya.” []