“AYAH, ayah” kata sang anak.
“Ada apa?” tanya sang ayah.
“Aku lelah, sangat lelah. Aku lelah karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedangkan temanku bisa dapat nilai bagus dengan mencontek, aku mau mencontek saja! Aku lelah, sangat lelah.
“Aku lelah karena aku harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! Aku lelah, sangat lelah.
“Aku lelah karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung, aku ingin jajan terus!
“Aku lelah karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati.
“Aku lelah karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedangkan teman-temanku seenaknya saja bersikap kepadaku.
“Aku lelah Ayah, aku lelah menahan diri. Aku ingin seperti mereka. Mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka ayah!” sang anak mulai menangis.
Sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata, “Anakku ayo ikut Ayah, Ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu.” Lalu sang ayah menarik tangan sang anak.
Mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang. Sang anak mulai mengeluh ”Ayah mau kemana kita? aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. Badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah karena banyak ilalang, aku benci jalan ini, ayah.”
Sang ayah hanya diam.
Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu-kupu, bunga-bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang.
“Waaaah… tempat apa ini ayah? Aku suka! Aku suka tempat ini!”
Sang ayah hanya diam kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping ayah,” ujar sang ayah, lalu sang anak pun ikut duduk di samping ayahnya.
“Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? Padahal tempat ini begitu indah,” ayah mulai bertanya.
“Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?” tanya sang anak.
“Itu karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tahu ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu,” sang ayah menjelaskan.
“Ooh… berarti kita orang yang sabar ya?”
“Nah, akhirnya kau mengerti.”
“Mengerti apa? Aku tidak mengerti.”
“Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi. Bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar melawati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga, dan akhirnya semuanya terbayar kan? Ada telaga yang sangat indah. Seandainya kau tidak sabar, apa yang kaudapat? Kau tidak akan mendapat apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah, anakku.”
“Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar,” rengek sang anak.
“Ayah tahu, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat. Begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu. Tapi, ingatlah anakku, ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri, jadilah seorang muslim yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena tahu ada Allah di sampingnya. Maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang. Kau tahu akhirnya kan?” jelas sang ayah lagi.
“Ya ayah, aku tahu, aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini. Sekarang aku mengerti. Terima kasih ayah , aku akan tegar saat yang lain terlempar. ”
Sang ayah tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya. []
Artikel ini viral di media sosial dan blog. Kami kesulitan menyertakan sumber pertama.