BISA saja, hubungan orang tua dan anak tidak selamanya berjalan sesuai dengan norma yang ada. Misalnya saja antara ayah dan anak perempuannya, terlebih menyangkut hal perwalian nikah. Tak jarang kita jumpai, ada sebagian wali yang enggan menikahkan putrinya, karena berbagai macam alasan.
Seharusnya para bapak segera menikahkan wanita yang berada dalam wilayahnya apabila ada laki-laki sekufu (sepadan) yang melamarnya dan wanita tersebut rela. Barangsiapa yang tidak melakukannya, maka dia telah menyalahi apa yang diperintahkan oleh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إذا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ (رواه الترمذي، وحسَّنه الألباني في صحيح سنن الترمذي برقم 865)
“Apabila ada orang yang engkau rela agama dan akhlaknya datang melamar (puteri) mu, nikahkanlah dia. Kalau tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. Tirmizi. Dihasankan oleh Al-Albany dalam Shahih Sunan Tirmizi, no. 865)
BAC AJUGA: Wali Nikah
Tidak diperkenankan menghalanginya dengan tujuan yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-NYa.
Kata ‘Al-Adhlu /menghalangi’ sebagaimana yang didefinisikan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah beliau berkata, ‘Arti adhl adalah mencegah wanita untuk menikah dari orang yang sepadan ketika wanita itu ada yang melamarnya, dan masing-masing di antara keduanya telah saling mencintai.”
Silakan lihat Al-Mughni, 7/24.
Maka hendaklah para wali segera menikahkan orang yang dibawah perwaliannya (apabila sudah ada calon yang cocok dan baik), karena hal itu dapat menjaga para wanita terjerumus dalam perkara Allah haramkan. Juga agar para wali tidak terjatuh kepada yang Allah haramkan karena dosa menghalanginya.
Prinsipnya, tindakan wali yang enggan menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya dengan orang yang setara adalah haram. Karena hal itu termasuk kezaliman dan menyakiti wanita serta menghalangi haknya untuk menikah dengan orang yang disukai.
Hal itu termasuk larangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya ketika mengarahkan kepada para wali, “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” (QS. Al-Baqarah: 232)
Hukum dalam masalah ini dapat dilihat dari dua sisi
1. Kalau wali terdekat menghalangi wanita –telah dijelaskan definisi menghalangi- maka wali berikutnya sah menikahkannya meskipun (wali) terdekat masih ada. Karena waktu itu tidak ada wilayah baginya.
Al-Mardawaih berkata, perkataan ‘Kalau (wali) terdekat menghalangi, maka wali berikutnya yang menikahkannya’ Ini adalah pendapat yang sahih dalam mazhab dan dipilih banyak pengikut mazhab.
Syekh Taqiyuddin rahimahullah berkata, ‘Di antara gambaran menghalangi adalah ketika pelamar terhalangi dari pinangannya karena sikap keras wali.‘ (Al-Inshaf, 5/74)
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Kalau wanita rela dengan seorang laki-laki yang sekufu dengannya, maka wajib bagi walinya seperti saudara laki-laki, kemudian paman dari bapaknya untuk menikahkannya. Kalau pernikahannya dihalangi dan dipersulit, maka wali berikutnya boleh menikahkannya.” (Al-Fatawa Al-Kubro, Vol. 3 hal. 83)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Kalau wali terdekat menghalanginya, maka perwalian berpindah kepada wali berikutnya. Hal itu telah ditegaskan oleh Imam Ahmad.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 7/24)
BACA JUGA: Ayah Tiri jadi Wali Nikah, Bolehkah?
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Kalau seorang ayah tidak bersedia menikahkan putrinya dengan orang yang sepadan dengannya, maka perwalian berpindah kepada kerabat ashobah setelahnya secara berurutan.” (Fatawa Islamiyah, 3/149)
2. Apabila wali berikutnya menikahkan padahal wali terdekat masih ada dan tidak menghalanginya. Mardawi berkata: “Kalau wali berikutnya menikahkan tanpa ada alasan yang dibenarkan, padahal wali terdekat masih ada, atau orang lain yang menikahkannya, maka (nikahnya) tidak sah. Al-Insof, 8/82.
Al-Bahuti berkata: “Kalau wali berikutnya menikahkan, tanpa ada alasan dari wali terdekat, maka pernikahnya tidak sah. Karena wali berikutnya tidak memiliki wewenang apabila wali terdekat masih ada.” (As-Syaful Qanna, 5/56).
Permasalahan ini menjadi bercabang, kalau wali terdekat mengizinkan nikah. Maka apa hukumnya? Kalau wali terdekat mengizinkan pernikahan, apakah perizinannya dibolehkan dalam nikah ataukah tidak?
Para ulama berpendapat, kalau dia dinikahkan oleh orang lain yang lebih utama sementara (walinya) ada dan tidak menghalanginya, maka nikahnya rusak. Masalah ini mencakup tiga hukum.
Salah satunya adalah kalau wali berikutnya menikahkannya padahal wali terdekat hadir. Kemudian wanita menerima untuk menikahkannya tanpa izinya, maka (nikahnya) tidak sah. Ini adalah pendapat Syafi’i.
Malik berkata: “Sah (nikahnya), karena dia adalah wali, maka sah baginya untuk menikahkan dengan izinya seperti (wali) terdekat.
Hukum kedua, bahwa akad ini rusak. Tidak tergantung dengan izin, adanya izin tidak menjadikannya sah. Maka nikah pada semua bentuk ini adalah tidak sah dalam salah satu riwayat yang terkuat. Hal ini dikuatkan oleh Ahmad di beberapa tempat. Ini adalah pendapat Syafii, Abu Ubaidah dan Abu Tsaur.
Dari Ahmad ada pendapat dalam riwayat lain, yaitu tergantung izin. Kalau diizinkah, boleh (sah nikahnya) kalau tidak diizinkan, maka rusak (nikahnya).
Pernikahan oleh Fudhuli
Fudhuli dalam istilah para ahli fiqih dikaitkan dengan orang yang bertindak atas hak orang lain tanpa izin syar’i. Misalnya tindakannya tanpa kepemilikan, tanpa wakalah (perwakilan) dan tanpa wilayah (perwalian). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah. Vol. 32 hal. 171)
Para ahli fiqih berbeda pendapat terkait dengan pernikahan oleh fudhuli terhadap orang yang tidak punya wali atau tidak ada yang mewakilinya.
BACA JUGA: Tunda Nikah karena Mahalnya Biaya Walimah?
Hanbali dan Syafii dalam pendapatnya yang baru berpendapat bahwa pernikahan oleh fudhuli tidak sah. Tidak terpengaruh dengan izin wali (yakni harus mengulangi akad baru lagi)
Ahmad dalam salah satu riwayatnya dan Abu Yusuf berpendapat bahwa pernikahan oleh fudhuli adalah sah. Akan tetapi tergantung izin wali. Kalau diizinkan, maka pernikahannya dapat diteruskan, tapi kalau ditolak, maka pernikahannya batal. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 32/175)
Kesimpulannya, sebagian ulama menyatakan bahwa akad (nikah), kalau walinya mengizinkan -sebagaimana anda lihat- adalah sah. Namun, jika anda ingin lebih tenang dan keluar dari perbedaan ulama, maka lebih bagus anda mengulangi akad nikah.
Untuk itu, yang diharuskan hanyalah penyerahan (ijab) dari wali anda –yaitu bapak- dan penerimaan (qabul) dari suami, kemudian adanya dua orang laki-laki muslim sebagai saksi disertai dengan taubat atas apa yang telah terjadi sebelum itu. []
SUMBER: ISLAMQA | MUSLIMAH.OR.ID