Oleh: Daud Farma
ulviyeturk94@gmail.com
Setiap orang punya khayalan yang berbeda-beda atas buku fiksi yang ia baca. Di mana penulis telah menggambarkan tempat dan suasana yang telah dia lihat sedangkan pembaca hanya membaca rangkaian kata demi kata dari penulis.
Sepuluh tahun lalu aku membaca Ayat-Ayat Cinta di Pondok, waktu itu aku kelas 5 KMI atau dua aliyah.
Khayalanku sebagai pembaca: oh ya Fahri kuliah di negeri, Aisha cantik sekali masyaAllah, indahnya Alexanderia, oh rumah kosnya bertingkat, syekhnya luar biasa hebat, Fahri rajin sangat!
Aku juga ingin belajar di sana!
Dan ekspektasiku setelah tiba di sini, tidak merasa dikecewakan. Bahkan bertemu sosok-sosok yang jauh lebih masyaAllah. Seperti misalnya yang tinggal satu rumah denganku shalat lima waktu ke masjid, dia naik turun dari lantai tujuh, tidak peduli musim panas dan musim dingin, begitu adzan berkumandang hatinya tergerak jamaah di masjid.
Juga tentang yang satu rumah denganku, dia benar-benar reader, membaca segala genre buku, baik fiksi atau pun non-fiksi, setiap hari membaca buku, betah matanya menatap lembar kertas buku berjam-jam lamanya.

BACA JUGA:Â Istimewanya Belajar di Al-Azhar Mesir
Tentang sosok seorang teman yang kabur dari rumahnya, anak orang kaya raya, ayahnya dokter spesialis mata, tapi tidak sepeser pun ditanggung ayahnya sebab ia tidak mau dijodohkan, ia memilih belajar ke Al-Azhar hingga ia wisuda dan kembali ke tanah airnya.
Tentang guru profesor, syekh yang naik bus, tentang guru yang datang mengajar dari puluhan kilo me Al-Azhar, tentang sosok guru yang masih hidup menulis buku setebal 18 jilid, tentang guru yang kerap membagikan buku gratis kepada wafidin/mahasiswa asing, dan sebagainya.
Khayalan yang tidak sampai, tidak terjawab bertahun-tahun lalu, Allah kabulkan. Namun tentu niat belajar ke Al-Azhar tidak hanya sebatas ingin memenuhi khayalan yang belum terjawab, tetapi kini ia tercatat atas amanat yang akan dipertanggungjawabkan di sisi-Nya di hari kelak.
Namun, Andaikan saja khayalan-khayalanku terhadap yang sedang aku baca ketika itu tidak terjawab sampai kapan pun, hal itu tidak membuatku sedih, tidak membuat sudut pandangku tentang apa yang disampaikan buku itu kurang hebat. Bukankah rasa penasaran itu tetap menyala? Tidak pernah padam. Khayalan-khayalan tentang Kairo, Al-Azhar, dan sebagainya senantiasa menggugah jiwa, selamanya.
Lantas jika suatu saat misalnya, aku bertemu sosok Azhary yang tidak sesuai dengan sosok Fahri, aku juga tidak kecewa. Sebab Fahri adalah sosok individual, bukan plural yang semuanya mesti sakral, tidak harus semuanya sesuai khayal.
Aku masih ingat bagaimana khayalanku sepuluh tahun lalu ketika membaca di bagian ini;
“Angin Sahara mendesau-desau, keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa kacaunya di luar sana. Panas disertai gulungan debu berterbangan. Suasana yang jauh dari nayaman.”
Khayalan saat itu ialah betapa luar biasanya sosok Fahri yang tinggal di sekitaran gurun pasir. Fahri yang menggunakan kaca mata hitam agar matanya tidak terkena debu, ia membawa tas dan keluar rumah di tengah panasnya terik matahari dan halaman rumahnya adalah hamparan sahara, sepatunya menginjak pasir, dia tidak mau absen, angin dahsyat, badai debu, ia tetap hadir talaqqi mengambil sanad al-Qur’an qiraat sab’ah. Lalu baru beberapa langkah, ia disapa Maria, gadis Mesir yang tinggal di atas apartemennya. Senyum-senyum kagum aku bacanya waktu itu.

Kalau boleh jujur, ada beberapa bagian yang sebenarnya aku lebih ingin ia tetap jadi khayalan, tidak ingin tahu keadaanya, suasananya yang sebenarnya. Bukan karena kecewa, tidak. Hanya saja khayalanku waktu itu yang berlebihan, terlalu indah. Biarlah ia abadi di khayalan saja.
BACA JUGA:Â Novelis Tanzania, Abdulrazak Gurnah Raih Nobel Sastra 2021
Agar Anda tidak banyak spekulasi, aku beri contoh. Misalnya tetang negeri pasir yang saya khayalkan adalah ibu Kota bernama Kairo, ia negeri muslim, negeri ulama. Kota yang indah. Rupanya kota itu di dalamnya banyak juga manusia yang kencing berdiri di tepi jalan.
Maka yang sudah pernah baca Ayat-ayat Cinta pertama, jangan berkecil hati, tetaplah bersyukur dengan khayalan yang telah Anda miliki, dan bagi yang telah baca lalu kemudian mengalaminya, Anda adalah pilihan-Nya.
Sekali lagi, Mesir, Al-Azhar, Fahri, Aisha, Maria dan seterusnya, that is amazing qaqa.
Terima kasih, Ustadz Habiburrahman El-Shirazy, karya antum sangat menginspirasi dan bermanfaat buat saya. []