SEMUANYA itu disadari John pada saat dia termenung seorang diri, menatap kosong keluar jendela rumahnya. Dengan susah payah ia mencoba untuk memikirkan mengenai pekerjaannya yang menumpuk. Semuanya sia-sia belaka.
Yang ada dalam pikirannya hanyalah perkataan anaknya Magy. Di suatu sore sekitar 3 minggu yang lalu, malam itu, 3 minggu yang lalu John membawa pekerjaannya pulang. Ada rapat umum yang sangat penting besok pagi dengan para pemegang saham.
Pada saat John memeriksa pekerjaannya, Magy putrinya yang baru berusia 2 tahun datang menghampiri. Sambil membawa buku ceritanya yang masih baru, buku baru bersampul hijau dengan gambar peri.
Dia berkata dengan suara manjanya, “Ayah lihat!”
John menengok kearahnya dan berkata, “Wah, buku baru ya?”
“Ya Ayah” katanya berseri-seri, “Bacain dong!”
“Wah, Ayah sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh,” kata John dengan cepat sambil mengalihkan perhatiannya pada tumpukkan kertas di depan hidungnya.
Magy hanya berdiri terpaku di samping John sambil memperhatikan. Lalu dengan suaranya yang lembut dan sedikit dibuat-buat mulai merayu kembali, “Tapi mama bilang Ayah akan membacakannya untukku.”
Dengan perasaan agak kesal John menjawab :”Magy dengar, Ayah sanngat sibuk. Minta saja mama untuk membacakannya.”
“Tapi mama lebih sibuk daripada ayah,” katanya sendu. “Lihat Ayah, gambarnya bagus dan lucu.”
“Lain kali, Magy! Sana, Ayah sedang banyak kerjaan.”
John berusaha untuk tidak memperhatikan Magy lagi. Waktu berlalu, Magy masih berdiri kaku di sebelah ayahnya sambil memegang erat bukunya. Lama sekali John mengacuhkan anaknya.
Tiba-tiba Magy mulai lagi “Tapi Ayah, gambarnya bagus sekali dan ceritanya pasti bagus! Ayah pasti akan suka…”
“Magy, sekali lagi ayah bilang: Lain kali!” dengan agak keras John membentak anaknya.
Hampir menangis Magy mulai menjauh, “ Iya deh, lain kali ya Ayah, lain kali…”
Tapi Magy kemudian mendekatiAyahnya sambil menyentuh lembut tangannya menaruh bukunya dipangkuan sang ayah sambil berkata “Kapan saja Ayah ada waktu ya, Ayah tidak usah baca untuk Magy, baca saja untuk ayah. Tapi kalau ayah bisa, bacanya yang keras ya, supaya Magy juga bisa ikut dengar…”
John hanya diam ketika itu.
Kejadian 3 minggu yang lalu itulah sekarang yang ada dalam pikiran John. John teringat akan Magy yang dengan penuh pengertian mengalah. Magy yang baru berusia empat tahun meletakkan tangannya yang mungil di atas tangannya yang kasar mengatakan: “Tapi kalau bisa bacanya yang keras ya Ayah, supaya Magy bisa ikut dengar…” Dan karena itulah John mulai membuka buku cerita yang diambilnya, dan tumpukkan mainan Magy di pojok ruangan.
Bukunya sudah tidak terlalu baru, sampulnya sudah mulai using dan koyak. John mulai membuka halaman pertama dan dengan suara parau mulai membacanya.
John sudah melupakan pekerjaannya yang dulunya amat sangat penting. Ia bahkan lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap pemuda mabuk yang dengan kencangnya menghantam tubuh putrinya di jalan depan rumah. John terus membaca halaman demi halaman sekeras mungkin. Cukup keras bagi Magy untuk dapat mendengar dari tempat peristirahatannya yang terakhir.
Lain kali itu tak pernah ada bagi Magy. []
Disadur dari Majalah Paras Edisi 14, Tahun 2004