JIKALAUÂ aku ini sebutir debu, diterbangkan angin, terlempar, aku hilang tak berkesan.
Jikalau aku ini sebutir pasir, digulung ombak, tenggelam, aku hilang tak berharga.
Jikalau aku ini seonggok tanah, diinjak-injak, aku hina dan terlupakan.
Ternyata, aku tercipta sebagai manusia, yang terlahir sebagai pejuang, disusun dalam bentuk yang seimbang, serta dimuliakan.
Diberi-Nya akal untukku berpikir, hati untukku merasa, hingga lengkaplah segalanya, aku makhluk paling sempurna dan istimewa.
Kasih-Nya terus tercurah, tak terbendung, walau diri selalu abai, lupa, bahkan tak bersyukur dengan karunia yang ada.
Namun saat mendengar nama-Nya disebut, tiba-tiba hati ini merindu-Nya, mengharap-Nya, takut tak dipedulikan-Nya.
Allah, bagaimana mungkin tak mencintai-Mu ?
Sepenggalan kaliat-kalimat di atas seumpama bait-bait puisi yang tertulis, tergantung bagaimana kita meresapinya. Apakah juga seperti apa yang kita rasakan? Setiap kita, pasti punya cerita, bagaimana mengenal dan mencintai-Nya.
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS. Al Insan, 76:1)
Dahulu, saat kita belum menjadi seperti ini, kita tak pernah tahu, kalimat apa yang pantas untuk disematkan kepada kita, karena kita tak berbentuk, tak berwujud.
Proses penciptaan itu pun dimulai, kita dibentuk perlahan, bermula dari air yang hina, yang diproduksi ayah dari sari-sari makanan yang berasal dari tanah, saat itulah kita mulai berjuang, mengalahkan jutaan atau miliaran calon, dan kitalah yang menang, kitalah yang dipilih-Nya, untuk dibentuk menuju penciptaan yang sempurna. Ditempatkan-Nya kita di dalam rahim (tempat yang paling nyaman karena berlimpah kasih sayang yang diciptakan Allah dalam tubuh sang bunda).
Dari air berganti menjadi segumpal darah, dari darah menjadi segumpal daging, dibentuk-Nya tulang-tulang yang akan menyangga tubuh kita, dibalut-Nya dengan daging, diberikan-Nya kita telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, hati untuk memahami, perlahan dan pasti, jadilah kita seorang bayi mungil yang dinamakan manusia.
Kini bayi mungil itu sudah dewasa, yang terus merasakan kasih sayang-Nya, tak pernah berhenti, tak peduli seberapa dosa yang kita lakukan, hingga di penghujung usia, barulah kita tersadar, telah banyak waktu yang terbuang sia-sia tanpa melibatkan-Nya, terlalu banyak kerja yang tak bermanfaat yang melibatkan hati dan pikiran yang jauh dari keridhaan-Nya, namun dalam hati yang paling dalam, tak akan pernah bisa kita berdusta, kita penuh seluruh mengharap-Nya terus mencintai kita.
Sudah terlalu banyak nikmat yang Dia sajikan, sudah terlalu banyak kesempatan yang Dia berikan, bukankah saatnya kini bersyukur. Karena sejujurnya, kita tak mampu membalas segala kebaikan Allah, walau dengan kenikmatan mata untuk melihat, seumur hiduppun jika diniatkan untuk mengabdi pada-Nya, tak akan jua pun bisa terbalas.
Keajaiban telinga, mata, tangan dan segala indra yang diciptakan-Nya, jika kita pejajari satu-satu, akan membuat kita takjub dan terpukau, betapa luar biasanya penciptaan Allah dalam menyusun tubuh kita.
Tangan, dengan lima jari di kanan dan lima jari di kiri, jika dipakai untuk mengetikkan tulisan ini di laptop, jari-jari ini refleks menekuk, menempatkan dirinya di tut-tuts huruf, hingga terciptalah kata, kalimat, dan tulisan. Pun ketika memegang pena, dan menulis. Bagaimana hebatnya ia menekukkan jemari hingga memudahkan kita menulis di lembaran kertas.
Ketika kita hendak membaca sebuah buku, mengambilnya dengan tangan, meletakkannya di tempat yang ingin dibaca, tangan ini yang membuat nyaman letak buku itu, membalik-balik halamannya, bagaimana cara ia refleks bergerak untuk menyentuh ujung buku, meneliti lembarannya untuk dibalik, hingga bergantilah halaman buku itu ke lembar berikutnya.
Tangan yang kita gunakan membantu pekerjaan kita sehari-hari, memegang sendok, garpu, pisau, memotong bahan-bahan makanan, dan bagaimana jemarinya memegang piring mangkok untuk dihidangkan di atas meja, membuka dan menutup jendela, pintu mobil, menggembok pagar, dan kerja-kerja lainnya.
Kedua belah tangan ini masing-masing mengandung dua puluh tujuh macam tulang dan tujuh belas susunan otot, penelitian ahli semakin membuat kita takjub, bahwa tangan yang kita pandang sederhana, ternyata begitu luar biasa potensinya membantu kita menjalani kehidupan.
Tangan ini, tak ada alat yang bisa menyamainya, sehebat apapun ilmu manusia tak akan mampu menyamai penciptaan tangan yang Allah karuniakan. Dan jika ditukar dengan uang ataupun harta sebanyak apapun di dunia, tentulah kita tak akan mau menjualnya, karena tangan ini lebih berharga, belum lagi anggota tubuh kita yang lainnya. Ini menandakan bahwa kita lebih berharga dari apapun.
Jadi, kepada siapakah pendengaran, penglihatan dan hati ini kita tujukan? Bukankah kepada Allah yang telah menganugerahkan semua itu kepada kita, hingga semakin kuatlah ruh yang ada di dalam diri untuk menggerakkan tubuh ini menuju derajad kemanusiaan yang lebih tinggi.
Karena cinta, jikalau cinta sudah bicara, tanpa diminta pun kita akan sukarela mengabdi pada-Nya, mempersembahkan yang terbaik untuk-Nya. Hidup mati hanya untuk-Nya, dengan mengerahkan segenap kekuatan hati, pikiran, kemauan, dan potensi terpendam untuk menjadi yang terbaik di hadapan-Nya, sebagaimana Rasulullah SAW serta sahabat-sahabat, semoga begitu lah juga dengan kita.
Berharap di kehidupan ini, ketika kita telah pergi, hilang dan terkubur, namun bekas-bekas kita masih ada, sebagai tanda bahwa kita pernah ada dan tercipta di dunia. []