TELAH diriwayatkan dari Abu Humaid As-Saidi –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ القِبْلَةَ، فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ اليُسْرَى، وَنَصَبَ اليُمْنَى، وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ اليُسْرَى، وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ»
“Aku adalah orang yang paling hafal dengan shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jika shalat aku melihat beliau takbir dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan pundaknya, jika rukuk maka beliau menempatkan kedua tangannya pada lutut dan meluruskan punggungnya. Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri lurus hingga seluruh tulung punggungnya kembali pada tempatnya semula. Dan jika sujud maka beliau meletakkan tangannya dengan tidak menempelkan lengannya ke tanah atau badannya, dan dalam posisi sujud itu beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kananya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya.” [ HR. Al-Bukhari : 828 ].
Sisi pendalilan dari hadits di atas pada kalimat :” Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kananya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya”. ( lihat yang digarisbawah).
Nabi –shollallahu ‘aliahi wa sallam- saat duduk pada rekaat terakhir, beliau duduk tawwaruk, yaitu dengan memasukkan kaki kirinya ke bawaha kaki kanannya, kemudian telapak kaki kanannya ditegakkan, sementara pantat menduduki lantai.
Rekaat terakhir di sini sifatnya umum, baik sholat yang berjumlah empat, atau tiga, atau dua rekaat. Atau dengan kata lain, baik yang memiliki dua tasyahhud seperti sholat Ashar, Maghrib, Isya’, dan Dhuhur, atau satu tasyahhud seperti sholat Subuh. (Ini berlaku baik pada sholat wajib atau sunnah).
Adapun pada tasyahhud awal, maka beliau duduk iftirosy, yaitu pantat menduduki kaki kiri, sementara telapak kaki kanan ditegakkan. Hal ini ditunjukkan dalam sebuah riwayat di atas pula pada kalimat:
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ اليُسْرَى، وَنَصَبَ اليُمْنَى
“Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan.”
BACA JUGA: Sifat Shalat Nabi: Kapan Menurunkan Jari Telunjuk Saat Tasyahud?
Hadits ini menunjukkan terjadinya perubahan tatacara duduk dalam tasyahhud awal dan tasyahhud akhir. Sebagai pembeda antara rekaa terakhir dan yang sebelumnya. Penyebutan dua sifat duduk pada dua tempat yang berbeda ini semakin menegaskan adanya maksud untuk menjelaskan perbedaan tersebut.
Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ حُجَّةٌ قَوِيَّةٌ لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَةَ الْجُلُوسِ فِي التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ مُغَايِرَةٌ لِهَيْئَةِ الْجُلُوسِ فِي الْأَخِيرِ وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَفِيَّةُ فَقَالُوا يُسَوِّي بَيْنَهُمَا لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّةُ يَتَوَرَّكُ فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ وَقَدْ قِيلَ فِي حِكْمَةِ الْمُغَايَرَةِ بَيْنَهُمَا إِنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى عَدَمِ اشْتِبَاهِ عَدَدِ الرَّكَعَاتِ وَلِأَنَّ الْأَوَّلَ تَعْقُبُهُ حَرَكَةٌ بِخِلَافِ الثَّانِي وَلِأَنَّ الْمَسْبُوقَ إِذَا رَآهُ عَلِمَ قَدْرَ مَا سُبِقَ بِهِ وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّدَ الصُّبْحِ كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ مِنْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ قَوْلِهِ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْلُ أَحْمَدَ وَالْمَشْهُورُ عَنْهُ اخْتِصَاصُ التَّوَرُّكِ بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ
“Di dalam hadits ini terdapat hujjah/dalil yang sangat kuat bagi Asy-Syafi’i dan yang berpendapat dengan pendapatnya, sesungguhnya sifat duduk di dalam tasyahhud awal, berbeda dengan sifat duduk pada (tasyahhud akhir). Al-Malikiyyah dan Al-Hanafiyyah telah menyelisihi dalam hal ini. Mereka berkata : Disamakan antara keduanya. Akan tetapi Al-Malikiyyah berkata : duduk tawwaruk di dalam keduanya (tasyahhud awal dan akhir), sebagaimana dalam tasyahhud akhir. Adapun yang lain(Al-Hanafiyyah) kebalikannya (duduk iftirosy dalam tasyahhud awal dan akhir). Ada yang menyatakan, hikmah dalam perubahan tata cara duduk di antara keduanya, sesungguhnya hal itu lebih dekat kepada tidak terjadinya kesamaan jumlah rekaat. Karena yang (tasyahhud) yang pertama masih diikuti gerakan, lain halnya (tasyahhud) yang kedua. Karena seorang yang masbuk(ketinggalan), apabila dia melihatnya, dia tahu jumlah rekaat yang dia ketinggalan dengannya. Asy-Syafi’i juga berdalil dengan hadits ini juga, sesungguhnya tasyahhud sholat Subuh seperti tasyahhud akhir dari selainnya karena keumuman ucapan “direkaat yang terakhir”. Pendapat yang masyhur dari Ahmad bin Hambal berselisih dalam masalah ini, dimana beliau mengkhususkan duduk tawwaruk untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud di dalamnya.” [ Fathul Bari : 2/309 ].
Yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- dalam ucapan beliau di atas. Pendapat ini juga diikuti oleh Al-ImamMalik bin Anas –rahimahullah-.
Hal ini dikuatkan oleh riwayat yang lain, masih dari Abu Humaid As-Saidi – radhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ، أَخَّرَرِجْلَهُ الْيُسْرَى، وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ
“…Sehingga apabila sujud yang di dalamnya terdapat salam, beliau mengakhirkan kaki kiri dan duduk tawwaruk di atas sisinya yang kiri.” [ HR. Abu Dawud : 963 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- ].
Kalimat Abu Humaid yang berbunyi : “apabila sujud yang di dalamnya terdapat salam”, maksudnya adalah sujud pada rekaat terakhir. Hal ini meliputi sholat yang memiliki dua tasyahhud, ataupun satu tasyahhud. Karena kalimat ini bentuknya umum meliputi keduannya.
Hadits memperkuat dan menjelaskan secara gamblang hadits yang sebelumnya, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- apabila duduk tasyahhud akhir, baik dalam sholat yang memiliki dua tasyahhud atau satu saja, beliau duduk tawwaruk, bukan duduk iftirasy.
BACA JUGA: Ini Dia Doa saat Tasyahud Akhir
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata:
مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْلِسَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ مُفْتَرِشًا وَفِي الثَّانِي مُتَوَرِّكًا فَإِنْ كَانَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ جَلَسَ مُتَوَرِّكًا
“Pendapat kami (Syafi’iyyah) sesungguhnnya dianjurkan untuk duduk iftiarsy pada tasyahhud awal dan duduk tawwaruk pada tasyahhud kedua. Dan jika sholat dua rekaat, maka duduk tawwaruk.” [ Al-Majmu’ : 3/450 ].
Al-Imam Muhammad Asyraf Al-Adzim Abadi –rahimahullah- (wafat : 1329 H) berkata:
وَفِي حَدِيثِ أَبِي حُمَيْدٍ حُجَّةٌ قَوِيَّةٌ صَرِيحَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَسْنُونَ فِي الْجُلُوسِ فِي التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ الِافْتِرَاشُ وَفِي الْجُلُوسِ فِي الْأَخِيرِ التَّوَرُّكُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ الْحَقُّ عِنْدِي
“Di dalam hadits Abu Humaid terdapat dalil yang kuat dan gamblang, sesungguhnya yang disunahkan dalam masalah duduk pada tasyahhud awal adalah iftirasy dan di dalam duduk pada tasyahhud akhir adalah tawwaruk. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i dan ini adalah yang benar menurutku.” [ ‘Aunul Ma’bud : 3/171 ].
Al-Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- berpendapat, bahwa duduk tawwaruk pada rekaat terakhir hanya untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud saja. Adapun yang memiliki satu tasyahhud, maka duduk tahiyat akhirnya dengan cara iftirasy.
Mereka berdalil dengan hadits Wail bin Hujr –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
قَدِمْتُ المَدِينَةَ، قُلْتُ: لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا جَلَسَ – يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ -: افْتَرَشَ رِجْلَهُ اليُسْرَى، وَوَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى – يَعْنِي – عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى، وَنَصَبَ رِجْلَهُ اليُمْنَى
“ Aku datang ke Madinah. Aku berkata : Sungguh aku akan menunjukkan sholat Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka tatkala beliau(rosul) duduk –maksudnya untuk tasyahhud- beliau membentangkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya –maksudnya- di atas pahanya yang kiri serta menegakkan kaki kanannya.” [ HR. At-Tirmidzi : 292 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- ].
Telah diriwayatkan dari Aisyah –radhiallohu ‘anha- beliau berkata:
وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ، وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Dan beliau (rosul) membaca tahiyyat pada setiap dua rekaat. Dan beliau membentangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” [ HR. Muslim : 498 ].
BACA JUGA: Agar Terhindar dari Siksa dan Fitnah Dajjal, Lafalkan Doa Ini di Tasyahud Akhir
Lihat kalimat yang kami tebalkan dan garis bawahi. Pada riwayat Wail, disebutkan dengan kalimat : “Maka tatkala beliau duduk –maksudnya untuk tasyahhud-“. Dan pada kalimat Aisyah dengan lafadz : “Dan beliau membaca tahiyyat pada setiap dua rekaat.” Kemudian setelah itu disebutkan bahwa nabi duduk iftirasy. Dua hadits ini dijadikan dalil bahwa sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud, duduk akhirnya iftirasy.
Pendalilan dengan dua hadits di atas untuk menyatakan bahwa sholat yang memiliki satu tasyahhud duduk akhirnya iftirasy, adalah tidak tepat. Karena dua hadits di atas bersifat mutlak (makna yang lepas/tidak dibatasi). Dan suatu dalil yang mutlak harus dibawa kepada dalil yang muqoyyad (makna yang dibatasi). [BERSAMBUNG]
Facebook: Abdullah Al Jirani